Sanae Takaichi, 'Iron Lady' yang Bisa Jadi PM Perempuan Pertama Jepang

Sanae Takaichi, 'Iron Lady' yang Bisa Jadi PM Perempuan Pertama Jepang

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 07 Okt 2025 17:46 WIB
dw
Takaichi mengagumi Margaret Thatcher, perdana menteri perempuan pertama Inggris, dan menganggap dirinya sebagai 'Iron Lady' Jepang. (Foto: Kazuhiro Nogi/AFP/Getty Images)
Jakarta -

Partai berkuasa Jepang yang tengah dilanda krisis, kini memiliki pemimpin baru: Sanae Takaichi, seorang politikus konservatif garis keras, yang berpotensi menjadi perdana menteri perempuan pertama negara tersebut.

Kemenangan Takaichi dalam pemilihan ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) berhasil diraih setelah ia memperoleh mayoritas suara dalam putaran kedua melawan Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi. Dukungan dari Taro Aso, mantan perdana menteri berusia 85 tahun yang dikenal sebagai "kingmaker" paling berpengaruh di LDP, disebut menjadi faktor penentu kemenangannya.

Takaichi kini diperkirakan akan menunjuk Aso, yang juga merupakan sekutu politik mantan Perdana Menteri Shinzo Abe yang dibunuh, sebagai wakil perdana menteri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Popularitas partai berkuasa merosot

Popularitas partai berkuasa di Jepang tengah menurun. Para anggota Partai Demokrat Liberal (LDP) berharap, kepemimpinan Sanae Takaichi dapat menghentikan penurunan dukungan terhadap partai yang telah memegang kekuasaan hampir sepanjang periode pasca-Perang Dunia II itu.

Di bawah pimpinan sebelumnya, Perdana Menteri Shigeru Ishiba, LDP kehilangan mayoritas di kedua kamar parlemen. Kekecewaan publik meningkat seiring menurunnya taraf hidup dan kebijakan imigrasi yang menuai banyak kritik. Sementara pendahulu Ishiba, Fumio Kishida, juga dari LDP, sempat tersandung skandal sumbangan politik yang memperkuat kesan bahwa partai tersebut tidak cukup berpihak pada rakyat.

ADVERTISEMENT

Usai kemenangannya, Takaichi berjanji akan membangun kembali kepercayaan publik dengan "menggerakkan seluruh generasi rakyat Jepang."

Pemungutan suara di parlemen untuk mengukuhkannya sebagai perdana menteri dijadwalkan berlangsung pada 15 Oktober mendatang.

Penerus politik Shinzo Abe

Takaichi telah beberapa kali menjabat sebagai menteri kabinet, termasuk sebagai Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keamanan Ekonomi. Perempuan berusia 64 tahun ini memandang dirinya sebagai penerus politik Shinzo Abe, yang memenangkan enam pemilu berturut-turut melalui agenda nasionalis dan kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada laju pertumbuhan nasional. Ia diperkirakan akan melanjutkan kebijakan pro-pasar serta visi tradisionalis yang diwariskan Abe.

Takaichi juga dikenal mengagumi Margaret Thatcher, perdana menteri perempuan pertama Inggris, dan kerap menyebut dirinya sebagai "Iron Lady" Jepang. Namun, sikap konservatifnya yang keras menuai banyak kritik dari lawan politik. Mantan Perdana Menteri Fumio Kishida bahkan disebut pernah menjulukinya "Taliban Takaichi."

Ia dikenal revisionis sejarah masa perang dan bersikap keras terhadap Cina. Takaichi secara rutin berziarah ke Kuil Yasukuni, yang oleh negara-negara tetangga Jepang dianggap sebagai simbol militerisme, meski enggan memastikan apakah ia akan terus melakukannya setelah menjabat sebagai perdana menteri.

Dalam sebuah kolom di situs pribadinya pada 2004, Takaichi menulis bahwa Jepang berperang dalam Perang Dunia II untuk "membela diri." Ia juga pernah menyerukan agar pembakaran bendera Jepang dijadikan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara.

Sebagai Menteri Dalam Negeri di era Abe, Takaichi bahkan pernah mengancam akan mencabut izin siaran stasiun televisi yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Seperti Abe, ia berambisi membawa Jepang untuk bisa "kembali ke puncak" dengan memperkuat pertumbuhan ekonomi.

Saat ini, Jepang dengan populasi 124 juta jiwa merupakan ekonomi terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan Jerman.

Pandangan kontroversial

Sikap politik Takaichi kerap menimbulkan perdebatan di dalam dan luar Jepang.

Takaichi mempertahankan pandangan tradisional tentang peran perempuan dan kesetaraan gender, sejalan dengan pandangan konservatif para senior laki-laki di partainya.

Ia juga mendukung sistem pewarisan takhta kekaisaran yang hanya memperbolehkan laki-laki, menilai kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan dapat mengancam nilai-nilai keluarga tradisional, serta mendukung aturan dari abad ke-19 terkait penggunaan nama keluarga perempuan yang oleh banyak pihak dianggap ketinggalan zaman.

Di Jepang, pasangan menikah diwajibkan memiliki satu nama keluarga, dan secara tidak tertulis, pihak perempuan biasanya mengikuti nama suami. Takaichi menentang upaya reformasi hukum yang memungkinkan pasangan mempertahankan nama masing-masing setelah menikah.

Belakangan, ia juga menyerukan penerapan kebijakan imigrasi yang lebih ketat, seiring meningkatnya dukungan terhadap partai sayap kanan anti-imigran, Sanseito.

Meniru retorika Sanseito, Takaichi membuka pidato kampanye perdananya dengan kisah tentang seorang turis yang disebut menendang rusa suci di Nara, kampung halamannya, meski tanpa bukti jelas. Ia berjanji akan menindak tegas pengunjung dan imigran yang melanggar aturan, di tengah meningkatnya jumlah pendatang di Jepang yang selama ini dikenal homogen.

Antara pemerintahan pragmatis atau "tangan besi"

Sebagai pemimpin baru, Takaichi diharapkan mampu membalikkan tren menurunnya popularitas LDP dengan menarik simpati pemilih yang belakangan banyak beralih ke partai-partai populis sayap kanan seperti Sanseito.

Namun, di saat yang sama, ia juga tampak mulai melakukan sejumlah kompromi untuk memperkuat posisinya di dalam partai.

Bahkan sebelum terpilih, Takaichi telah menempatkan dirinya sebagai sosok "konservatif tengah-kanan" guna merangkul dukungan dari faksi moderat di tubuh LDP. Setelah kemenangannya, ia juga menggunakan nada yang lebih pragmatis untuk menjaga koalisi dengan partai liberal Komeito tanpa mengasingkan pendukung barunya.

Takaichi sepakat dengan pihak oposisi bahwa penghapusan pajak bahan bakar yang telah berlaku selama 50 tahun perlu menjadi prioritas guna menekan inflasi. Ia juga menyerukan penguatan militer dan menekankan pentingnya aliansi trilateral dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan, sembari berusaha meredakan kekhawatiran bahwa hubungan yang baru membaik dengan Seoul bisa kembali tegang akibat sikap nasionalisnya.

Sebagai sinyal bagi komunitas internasional, Takaichi menegaskan komitmennya untuk tetap menghormati kesepakatan tarif dan investasi yang telah disepakati antara pemerintahan Perdana Menteri Ishiba dan Presiden AS Donald Trump.

Tipe ultrakonservatif sejati?

Tidak semua sisi kehidupan Sanae Takaichi mencerminkan citranya sebagai politikus konservatif garis keras.

Semasa kuliah, ia dikenal sebagai drummer band heavy metal sekaligus penggemar motor. Lulusan Universitas Kobe dengan gelar di bidang manajemen bisnis ini pernah mengikuti program fellowship pada 1987 yang membawanya bekerja di Kongres Amerika Serikat. Ia juga sempat menjadi pembawa acara di stasiun televisi liberal Asahi.

Belakangan, Takaichi terbuka membicarakan pengalamannya menghadapi gejala menopause dan menekankan pentingnya edukasi bagi laki-laki tentang kesehatan perempuan, baik di sekolah maupun di tempat kerja.

Takaichi tidak memiliki anak kandung dan baru menikah pada usia 43 tahun dengan anggota LDP Taku Yamamoto, yang tiga anaknya kemudian ia adopsi. Pasangan ini bercerai pada 2017 karena perbedaan pandangan politik, tetapi kembali menikah pada Desember 2021. Dalam pernikahan pertama, Takaichi mengikuti nama keluarga suaminya. Namun, setelah mereka menikah kembali, sang suami justru mengambil nama Takaichi, membuat "Iron Lady" Jepang ini tetap teguh pada pandangannya soal nama keluarga tunggal.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Fika Ramadhani

Editor: Prihardani Purba

Tonton juga video "PM Ishiba Mundur: Pasar Saham Jepang Melonjak, Yen Tertekan" di sini:

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads