Presiden Ekuador Daniel Noboa menetapkan status darurat terhadap tujuh provinsi dari puluhan provinsi di wilayahnya yang dilanda kekerasan, menyusul unjuk rasa memprotes penghapusan subsidi bahan bakar.
Noboa mengumumkan penghapusan subsidi bahan bakar (BBM) itu pekan lalu, dalam upaya menghemat anggaran US$ 1,1 miliar (Rp 18 triliun) yang menurutnya akan dialihkan untuk program bantuan sosial dan dukungan pertanian.
Kebijakan itu, seperti dilansir AFP, Rabu (17/9/2025), membuat harga diesel melonjak drastis dari US$ 1,80 (Rp 29 ribu) menjadi US$ 2,80 (Rp 46 ribu) per galon -- sekitar 48 sen (Rp 7.887) menjadi 74 sen (Rp 12.160) per liter -- di negara yang hampir sepertiga penduduknya tergolong miskin.
Dalam aksi protes pada Selasa (17/9) waktu setempat, para demonstran memblokir jalan raya Pan-American North di luar ibu kota Quito dengan bebatuan yang diletakkan di tengah jalanan. Aksi ini menyusul blokade beberapa ruas jalan raya oleh para pengemudi truk sehari sebelumnya.
Para mahasiswa setempat telah menyerukan unjuk rasa di ibu kota Quito pada Selasa (17/9) malam, sedangkan serikat pekerja Front Pekerja Bersatu (FUT) telah merencanakan aksi longmarch untuk pekan depan.
Noboa, yang terpilih kembali pada April lalu karena para pemilih mendukung pendekatannya yang keras terhadap kekerasan kartel yang merajalela, mengumumkan pada Selasa (17/9) bahwa keadaan darurat akan diberlakukan selama 60 hari di sebanyak tujuh provinsi dari 24 provinsi di Ekuador.
Dia menyebut soal "kerusuhan internal yang parah" sebagai alasan pemberlakuan keadaan darurat tersebut.
Pemerintahan Noboa mengatakan bahwa aksi pemblokiran jalan itu "telah menyebabkan komplikasi dalam rantai pasokan pangan" dan berdampak pada "pergerakan bebas orang-orang, melumpuhkan berbagai sektor ekonomi".
(nvc/idh)