Perang menyisakan pilu bagi anak-anak Gaza, Palestina. Mereka harus menjadi yatim dan piatu sebab ayah dan ibu mereka tewas dibunuh pasukan Israel.
Dilansir BBC, Senin (5/2/2024), seorang bayi perempuan lahir di tengah kengerian perang Gaza. Bayi yang kini berusia sebulan itu masih terbaring di dalam inkubator dan belum pernah merasakan pelukan ibu dan ayahnya.
Bayi tersebut lahir berkat operasi sesar setelah ibunya, Hanna, terjebak reruntuhan akibat serangan udara Israel. Hanna tewas sebelum bisa menamai putrinya.
"Kami hanya memanggilnya putri dari Hanna Abu Amsha," kata perawat Warda al-Awawda, yang merawat bayi mungil itu di Rumah Sakit al-Aqsa di Deir al-Balah di Gaza tengah.
Petugas medis dan penyelamat terus berjuang mencari pengasuh bagi anak-anak yang berduka itu. Pihak rumah sakit saat ini harus menghadapi kengerian perang dan tak mengetahui keluarga dari bayi-bayi yang mereka rawat.
"Kami kehilangan kontak dengan keluarganya," kata perawat itu kepada kami.
"Tidak ada kerabatnya yang datang dan kami tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya," sambungnya.
Anak-anak di Gaza mencakup hampir setengah dari total populasi yang berjumlah 2,3 juta jiwa. Kini, Gaza sudah hancur dan warganya hidup dalam kengerian akibat perang yang brutal.
Meskipun Israel mengklaim berusaha menghindari korban sipil dengan mengeluarkan perintah evakuasi, namun Otoritas Kesehatan Palestina menyebut lebih dari 11.500 anak di bawah 18 tahun telah tewas.
Selain itu, banyak pula anak-anak yang mengalami cedera dengan dampak serius dan akan mengubah hidup mereka selamanya. Sulit untuk mendapatkan angka yang akurat, tapi menurut laporan terbaru dari Euro-Mediterranean Human Rights Monitor sebuah organisasi nirlaba lebih dari 24.000 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.
Ibrahim Abu Mouss (10) menderita cedera kaki dan perut yang parah ketika sebuah rudal menghantam rumahnya. Selain menghancurkan rumah, serangan itu juga membuat ibu, kakek, dan saudara perempuannya tewas.
"Mereka (petugas kesehatan) terus mengatakan kepada saya bahwa mereka sedang dirawat di lantai atas rumah sakit," kata Ibrahim sambil memegang tangan ayahnya.
"Tapi saya mengetahui kenyataannya ketika saya melihat foto-foto (mereka) di ponsel ayah saya. Saya menangis begitu keras sampai seluruh tubuh saya sakit," sambungnya.
Tak hanya Ibrahim, anak-anak dari keluarga Hussein yang dulu sering bermain bersama, kini hanya bisa duduk dengan khidmat di dekat kuburan berpasir tempat sejumlah kerabat mereka dimakamkan.
Kubur itu terletak di sebuah sekolah yang berubah menjadi tempat penampungan di Gaza tengah. Masing-masing dari anak keluarga Hussein telah kehilangan satu atau kedua orang tua mereka.
"Rudal itu jatuh di pangkuan ibu saya dan tubuhnya hancur berkeping-keping. Selama berhari-hari kami mengumpulkan bagian tubuhnya dari puing-puing rumah," kata Abed Hussein, yang tinggal di kamp pengungsi al-Bureij.
"Ketika mereka mengatakan bahwa saudara laki-laki saya, paman saya dan seluruh keluarga saya terbunuh, saya merasa seperti jantung saya terbakar," sambungnya.
Abed mengaku tidak bisa tidur di malam hari karena ketakutan mendengar suara serangan tentara Israel dan merasa sendirian. Dia mengaku terbiasa tidur di sebelah ayahnya, namun hal itu tak bisa lagi dirasakannya karena ayahnya sudah tiada.
"Ketika ibu dan ayah saya masih hidup, saya bisa tidur. Tetapi setelah mereka terbunuh, saya tidak bisa tidur lagi. Saya biasa tidur di sebelah ayah saya," jelasnya.
Abed dan dua saudara kandungnya yang masih hidup dirawat oleh neneknya, tetapi kehidupan sehari-hari mereka sangat sulit.
"Tidak ada makanan atau air. Saya sakit perut karena minum air laut," ujarnya.
Lihat juga Video 'Reaksi WHO soal Insiden Tentara Israel Nyamar Jadi Nakes di RS Ibnu Sina':
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
(haf/haf)