Anggota Komisi XIII DPR Fraksi Gerindra Muhammad Rofiqi menyoroti kasus mantan prajurit marinir, Satria Arta Kumbara, yang bergabung menjadi tentara Rusia dan akhirnya kehilangan kewarganegaraan sehingga berstatus stateless. Guru Besar UI sekaligus pakar hukum Hikmahanto Juwana menilai persoalan ini tidak bisa diselesaikan melalui perjanjian ekstradisi.
Rofiqi awalnya menyebut tindakan Satria merupakan bentuk kejahatan bagi Indonesia. Rofiqi mengatakan kasus Satria cukup viral di media sosial sehingga berujung pencabutan WNI bagi Satria dan berstatus stateless.
"Kita ketakutan adalah biasanya yang viral-viral begini ada yang mengikuti. Tadi data kalau tidak salah ada 10 WNI yang berperang untuk Ukraina, tapi tidak ada data berapa WNI yang berperang untuk Rusia," kata Rofiqi dalam RDPU Komisi XIII DPR RI bersama pakar hukum dan guru besar, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/8/2025).
"Karena kalau untuk Ukraina mungkin gratis, kalau untuk Rusia tentu dibayar. Mereka punya tentara bayaran, mereka merekrut semua tentara hampir semua kombatan di seluruh dunia, itu direkrut mereka," sambungnya.
Rofiqi lantas mempertanyakan peluang Satria dapat dibawa kembali ke Indonesia melalui RUU perjanjian ekstradisi Rusia dan Indonesia. Dia menilai perilaku Satria merupakan bentuk kejahatan.
"Apakah nanti dengan ketika mengesahkan perjanjian ini WNI-WNI kita yang ikut berperang di Rusia bisa kita ekstradisi? Karena termasuk kejahatan, kalau di sini berkhianat terhadap bangsa dan negara," ujarnya.
Dia pun khawatir jika Satria kembali ke Indonesia tanpa hukuman akan membawa paham atau aliran yang aneh. Selain itu, menurutnya, Satria tidak boleh berstatus stateless atau tanpa kewarganegaraan.
"Mereka balik pun akan membawa paham yang aneh-aneh, ini jangan sampai mereka dibuang stateless, tidak bisa ikut A tidak bisa ikut B," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Hikmahanto Juwana menilai persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan melalui perjanjian ekstradisi. Namun, kata dia, perlu dikaitkan dengan aturan kewarganegaraan.
"Kalau misalnya ada warga negara kita yang ke Rusia dan dia menjadi mercenaries, dia kepengennya menjadi tentara bayaran saja, sayangnya di undang-undang kewarganegaraan kita itu disebutkan bahwa warga negara kita yang masuk ke dalam ketentaraan asing akan kehilangan kewarganegaraannya," ujarnya.
Hikmahanto memberikan contoh kasus pejuang teroris yang ke ISIS. Saat itu, mereka yang berangkat telah kehilangan status kewarganegaraannya.
"Waktu itu pemerintah juga punya kebingungan bagaimana memperlakukan mereka-mereka ini," ujarnya.
"Sekarang masih ada yang di Suriah, mungkin mereka ada yang sudah sebagian dikembalikan, dan dalam hukum kita stateless itu tak boleh, harus dikembalikan menjadi warga negara, cuma kita kalau menganggap yang bersangkutan ini melakukan tindakan kriminal," sambung dia.
Menurut Hikmahanto, hal itu berbeda dengan persoalan di Rusia. Dia meyakini Rusia tidak akan menganggap kasus Satria sebagai kejahatan kriminal.
"Permasalahannya di Rusia tidak dianggap sebagai kriminal karena ini dibilang 'terima kasih nih kalau ada yang membantu kita', karena mereka mungkin kesulitan untuk mendapatkan tentara-tentara di warganya, sehingga warga negara asing yang diminta ini memang jadi permasalahan sendiri," jelasnya.
Sebab itu, menurutnya, persoalan Satria tak bisa diselesaikan dengan perjanjian ekstradisi. Dia menilai perlu dikaitkannya dengan aturan kewarganegaraan.
"Menurut saya tidak bisa diselesaikan di undang-undang ekstradisi, maupun di dalam perjanjian ekstradisi yang akan bapak ibu bahas," imbuh dia.
Simak juga Video 'Ara Ungkap Peran TNI-Polri soal Keamanan Bangun Rumah di Papua':
(amw/ygs)