Anggota DPR Desak Minta Maaf, Fadli Zon: Kalau Berbeda, Itu Pendapat Pribadi

Anggi Muliawati - detikNews
Rabu, 02 Jul 2025 15:30 WIB
Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi X DPR. (Anggi Muliawati/detikcom)
Jakarta -

Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends mendesak Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon meminta maaf terkait pernyataannya yang menyebut tak ada pemerkosaan massal 1998. Fadli Zon menegaskan tidak pernah menampik adanya pemerkosaan.

Hal itu disampaikan dalam rapat kerja Komisi X DPR bersama Menbud di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Mulanya, Mercy mengaku ikut mendata kasus kekerasan seksual saat itu.

"Kenapa begitu berat menerima ini? Ini kalau saya bicara ini, kita sakit, Pak. Saya termasuk bagian juga yang ikut mendata. Itu testimoni, testimoni sangat menyakitkan. Kita bawa itu testimoni dalam desingan peluru," ujarnya.

"Aduh, Bapak bicara dari tadi itu, saya itu menahan, sangat menahan, dan bukan cuma kasus kekerasan '98, Bapak bilang TSM, Bapak bilang tidak terima yang massal. Pak, kebetulan sebagian besar itu satu etnis yang kita tidak ingin membuka sejarah kelam, itu satu etnis. Kalau dia sporadis, bisa siapa saja satu etnis," sambungnya.

Mercy mengatakan, saat kejadian tersebut, baik dirinya maupun teman-temannya yang lain tak bisa tertidur nyenyak. Dia pun mendesak Fadli Zon meminta maaf.

"Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf kali sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan. Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus. Manusiawi, minta maaf!" ujar Mercy.

Mendengar itu, Fadli Zon menyampaikan permintaan maafnya. Dia mengaku mengecam segala bentuk kekerasan yang ada.

"Saya minta maaf, kalau ini terkait dengan insensitivitas, dianggap insensitif, tapi saya sekali lagi dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga, dan ini tidak ada hubungan dengan kasus-kasus yang lain ya, karena maksud saya di Maluku atau di Aceh, saya tidak tahu," jelasnya.

"Tapi jelas, kita semua mengutuk hal-hal yang semacam itu dan mengecam segala macam kekerasan terhadap perempuan itu. Saya kira dalam posisi yang sama sekali tidak berbeda dalam soal hal-hal itu," sambung dia.

Namun dia mengatakan, jika terdapat perbedaan pendapat, hal itu merupakan pendapat pribadinya. Menurutnya, perlu data lebih akurat lagi untuk menarasikan adanya pemerkosaan massal. Sebab, dia mengatakan diksi 'massal' sangat identik dengan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

"Cuma secara spesifik tadi kalau ada sedikit perbedaan pendapat terkait dengan diksi itu (massal), yang menurut saya itu pendapat pribadi ya," ujarnya.

"Yang mungkin kita bisa dokumentasikan secara lebih teliti lagi ke depan ini adalah hal-hal yang mungkin bagian dari ya perbedaan-perbedaan data, atau pendapat yang perlu kita lebih akurat lagi ke depan, untuk mendatanya," sambungnya.

Sebab, kata dia, pemerkosaan massal itu sulit dibuktikan secara hukum lantaran tak ada pelaku. Dia menegaskan tak ada upaya untuk mereduksi kasus tersebut.

"Saya kira tidak ada maksud-maksud lain, dan tidak ada kepentingan sebenarnya dalam hal ini untuk mereduksi, kalau itu sudah menjadi sebuah kenyataan-kenyataan, apalagi ada dukungan dengan hukum," jelasnya.

"Orang-orang pelaku yang semacam itu sampai sekarang pun saya kira harusnya bisa dihukum, kalau misalnya memang bisa ditelusuri kelompoknya, pelakunya kan. Masalahnya, itu belum menjadi sebuah fakta hukum, kira-kira begitu," imbuh dia.




(amw/fca)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork