Guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Susi Dwi Harijanti memberikan catatan soal revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK). Susi meminta revisi UU MK dilakukan secara hati-hati.
"Saya khawatir ini adalah bentuk-bentuk dalam tanda kutip revolution terhadap Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme evaluasi tidak jelas apa makna atau tujuan untuk melakukan evaluasi ini," kata Susi dalam diskusi bertajuk 'Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi' melalui daring, Kamis (16/5/2024).
"Kalau mereka berpendapat atau pembentuk undang-undang berpendapat bahwa evaluasi ini dilakukan dalam rangka meminta judicial accountability, menurut saya ini tidak pada tempatnya karena apa, karena pembentuk undang-undang sendiri di dalam rancangan undang-undang tersebut tidak memberikan rambu-rambu yang jelas bagaimana evaluasi itu harus dilaksanakan," lanjutnya.
Dia mengatakan revisi UU MK harus dilakukan secara hati-hati karena akan berdampak terhadap tatanan pengelolaan negara dan politik.
"Oleh karena itu, saya mengatakan bahwa perubahan atau penggantian undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman itu harus dilakukan dengan hati-hati dilaksanakan, karena apa? Perubahan itu akan menjadi ukuran untuk melaksanakan atau justru menjauhi Undang-Undang Dasar," ujarnya.
"Kemudian juga perubahan itu bisa memberikan dampak pada tatanan pengelolaan negara atau tatanan pengelolaan pemerintahan dan politik atau perubahan itu dapat berdampak pada pendewasaan demokrasi kemudian tatanan politik yang bertanggung jawab atau tatanan sosial yang taat pada hukum," sambungnya.
Menurut Susi, tidak ada evaluasi yang dilakukan dalam pembentukan draf RUU MK. Dia mengungkit dinamika dari proses-proses di MK selama ini.
"Saya melihat bahwa rancangan undang-undang perubahan yang keempat ini tidak dilakukan evaluasi secara berhati-hati. Ini yang tadi dikatakan oleh Pak Hamdan ini merupakan reaksi dari badan-badan politik terhadap apa yang sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ataupun oleh juga hakim-hakim konstitusi. Dan ini merupakan salah satu hal yang sangat berbahaya menurut saya, karena ini apa, karena jaminan ini memperlihatkan sekaligus apa yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi," ucapnya.
Selain itu, kata Susi, revisi UU MK mengancam independensi hakim MK. Menurutnya, ada sejumlah komponen yang kurang memuat jaminan independensi terhadap hakim MK.
"Ini sekaligus memperlihatkan kepada kita bahwa jaminan independensi kekuasaan kehakiman yang minimalis tadi di dalam Undang-Undang Dasar itu kemudian menciptakan problem yang fundamental terhadap tegaknya prinsip independensi. Secara de jure sebetulnya komponen-komponen yang ada itu seyogyanya adalah pernyataan independensi pengadilan kemudian masa jabatan atau planner itu juga diatur di dalam Undang-Undang Dasar. Kemudian bagaimana prosedur seleksi, bagaimana prosedur removal, kemudian alasan-alasan khusus remover, kemudian juga jaminan. Jaminan apa misalnya, tidak ada pengurangan atau penurunan gaji dari hakim-hakim di Indonesia," kata Susi.
"Karena kurang lengkapnya materi muatan yang mendukung independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia termasuk di dalamnya Mahkamah Konstitusi kemudian membuka celah bagi pembentuk undang-undang untuk membuat politik hukum mengenai Mahkamah Konstitusi sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dan ini yang tadi saya katakan jangan sampai perubahan ini dilakukan dalam rangka kebutuhan-kebutuhan politik tertentu ataupun juga akomodasi akomodasi politik tertentu yang sangat jauh dari tujuan membentuk Mahkamah Konstitusi," imbuhnya.
Simak Video 'Cerita Mahfud Md soal Pernah Tolak Revisi UU MK':
(dek/gbr)