Tiga warga Jawa Timur (Jatim) yang diwakili lewat kuasa hukumnya, Sunandiantoro dan Anang Suindro, mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjadi pihak terkait soal judicial review batas usia capres/cawapres. Mereka meminta agar usia cawapres tetap minimal 40 tahun, dan tidak diturunkan, sebagaimana permintaan PSI.
"Menolak Permohonan Pemohon Register No 29/PUU-XXI/2023 untuk seluruhnya. Menyatakan obyek perkara a quo merupakan open legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dan bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi," ujar Sunandiantoro-Anang dalam berkas yang diterima wartawan, Selasa (8/8/2023).
Keduanya mengutip dissenting opinion atau pendapat berbeda yang dikemukakan oleh hakim MK Maria Farida Indrati, yaitu:
Bahwa tata cara pelaksanaan pilpres, ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum, dan aturan presidential threshold adalah open legal policy. Dalam Putusan MK No. 51-52- 59/PUU-VI/2008 (Bukti PT-XII), yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mungkin membatalkan undang-undang atau Sebagian isinya jika merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun suatu undang-undang dinilai buruk, mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir.
"Pihak Terkait beranggapan obyek perkara a quo yang merupakan open legal policy bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi dan haruslah dikembalikan kepada pembentuk perundang-undangan untuk mengevaluasi, memperbaiki, maupun mengubah," ucapnya.
Dalam gugatannya, PSI menyebutkan batas minimal usia 40 tahun merupakan suatu pelanggaran moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable karena diskriminatif terhadap satu golongan umur tertentu.
"Namun hal tersebut bertentangan dengan petitum pemohon perkara a quo yang meminta batas minimal 40 tahun dirubah menjadi sekurang kurangnya berusia 35 tahun. Bahwa dengan demikian Permohonan Pemohon pada perkara a quo itu sendiri jelas-jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran moral dan diskriminatif terhadap Warga Negara Indonesia yang berumur kurang dari 35 tahun," pungkasnya.
(asp/dnu)