Fenomena pernikahan dini terhadap anak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tak sedikit dari pasangan yang menikah sejak usia dini bercerai karena sejumlah faktor dan berefek domino ke banyak hal.
Pola pikir anak yang masih belum cukup matang berdampak pada sikap dan perilaku dalam berumah tangga. Upaya penghentian pernikahan usia dini pada anak dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Dalam catatan detikcom, Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sempat digugat oleh warga Indramayu bernama Rasminah dan sejumlah perempuan lain didampingi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pada 2017 lalu. Dengan mata berkaca-kaca, Rasminah mengungkapkan pengalamannya yang pernah menikah usia dini sangatlah tak enak.
Mayoritas teman sebaya Rasminah di Indramayu mengalami hal yang sama, menikah sejak usia dini karena dianggap sebagai hal yang lumrah. Kepada detikcom saat itu, Rasminah mengaku tak ingin hal tersebut terjadi pada perempuan lain.
"Cukup saya yang mengalami seperti ini," tutur Rasminah kala itu.
Rasminah didampingi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berjuang menghilangkan praktik perkawinan anak. Mereka mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Usia pernikahan bagi perempuan yang ada pada Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1947 dirasa masih membuka peluang praktik perkawinan anak, sebab minimal usia perempuan untuk menikah lebih rendah dari laki-laki yakni 16 tahun.
"Intinya mah ingin menaikkan syarat usia pernikahan bagi wanita. Agar dinaikkan sama seperti laki-laki. Saya hanya berharap tidak ada lagi pernikahan anak, cukup saya saja," ujar Rasminah.
Berikut bunyi Pasal 7 ayat (1) sebelum amandemen:
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.
Rasminah dipaksa menikah oleh orang tuanya selepas lulus dari bangku sekolah dasar. Pada usia 13 tahun, ia harus menikah untuk pertama kalinya. Dua tahun kemudian, ia bercerai, dan kembali menikah. Pernikahan ketiga pun tak berapa lama. Ia kini menikah dengan pria yang menjadi usia keempat.
Atas apa yang ia alami, Rasminah dkk menggugat UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi dan berharap sembilan hakim konstitusi menaikkan usia minimal menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
MK Kabulkan Uji Materil
Bak gayung bersambut, MK mengabulkan permohonan judicial review Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan Tahun 1974 mengenai batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Menurut MK, usia minimal 16 tahun untuk perempuan di UU tersebut sudah tidak relevan dengan zaman.
MK menilai, ketika Pasal 7 ayat (1) UU 1 Tahun 1974 disusun dan dibahas, penentuan batas usia merupakan salah satu bentuk kesepakatan nasional yang telah disepakati setelah mempertimbangkan secara bijaksana dan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku pada saat undang-undang a quo disusun yang kemudian disahkan pada 1974.
"Namun, dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, yang ditandai dengan diubahnya UUD 1945 (1999-2002), terjadi penguatan terhadap jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi dengan dicantumkannya pasal-pasal tentang jaminan hak asasi manusia, termasuk hak untuk membentuk keluarga dan hak anak," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan di gedung MK, Kamis (13/12/2018).
Jaminan dan perlindungan hak asasi manusia yang dimaksud juga merupakan kesepakatan nasional. Bahkan ia dirumuskan secara tegas dalam Konstitusi.
"Penguatan terhadap jaminan dan perlindungan hak asasi manusia a quo tentunya mengharuskan bangsa Indonesia untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan hukum masa lalu yang dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat," papar MK.
Dalam hal ini, termasuk apabila terdapat produk-produk hukum yang mengandung perlakuan berbeda atas dasar ras, agama, suku, warna kulit, dan jenis kelamin, maka sudah seharusnya pula untuk disesuaikan dengan kehendak UUD 1945 yang anti-diskriminasi. Salah satu kebijakan hukum yang dapat dikategorikan mengandung perlakuan berbeda atas dasar jenis kelamin dimaksud adalah Pasal 7 ayat (1) UU 1 Tahun 1974.
"Dengan pembedaan batas usia minimum perkawinan yang termuat di dalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, semata-mata karena jenis kelaminnya," ujar majelis dengan suara bulat.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
(dek/asp)