Di bawah kepemimpinan Anwar Usman, Mahkamah Konstitusi (MK) penuh gejolak tak berkesudahan. Pelbagai isu baik dari internal atau eksternal terus mendera lembaga yang dipimpin adik ipar Presiden Jokowi itu. Terakhir, DPR akan kembali mengocok ulang UU MK.
Berdasarkan catatan detikcom, Kamis (16/2/2023), prahara mulai melanda MK saat lahir UU MK terbaru pada 2020. Di UU baru itu, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang, dari 5 tahun menjadi 15 tahun tanpa kocok ulang.
Anwar Usman salah satu yang diuntungkan dengan UU baru itu. Bila menggunakan UU lama, Anwar Usman harusnya pensiun pada 2021. Namun, dengan aturan baru itu, jabatan Anwar Usman otomatis bertambah hingga 6 April 2026.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
UU baru itu kemudian digugat sejumlah LSM dan warga ke MK. Dari sembilan hakim konstitusi mengadili UU MK, delapan hakim MK menyatakan UU MK baru itu konstitusional. Hanya hakim konstitusi Arief Hidayat yang tidak setuju dengan UU itu dan harusnya dibatalkan. Menurutnya, revisi UU MK cacat formil sehingga harus dibatalkan. Karena itu, isi UU juga gugur dengan sendirinya. Tanpa perlu memperdebatkan materi UU MK yang baru sekalipun.
"Proses pembahasan bersama yang hanya memakan waktu tiga hari jelas di luar nalar wajar kecuali memang dilakukan untuk menutup ruang partisipasi masyarakat," kata Arief Hidayat.
Dalam putusan MK itu, delapan hakim MK sepakat Anwar Usman harus mundur.
"Namun, agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo, maka Ketua dan Wakil Ketua MK yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua MK sebagaimana amanat Pasal 24C ayat 4 UUD 1945. Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 bulan sejak putusan ini diucapkan, harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi," ujar hakim MK Enny Nurbaningsih.
Sayangnya, hingga kini, Anwar Usman masih duduk di kursi Ketua MK.
Baca juga: Masihkah Kita Membutuhkan MK? |
Tonton juga Video: MK Bentuk MKMK Ungkap Perubahan Substansi Perkara Hakim Aswanto
Setelah keluarnya putusan itu, Ketua MK meminta konfirmasi ke MA, DPR, dan Presiden, yaitu apakah tetap mempertahankan hakim konstitusinya atau tidak. Hasilnya, MA dan Presiden tetap mempertahankan hakim konstitusi pilihannya, sedangkan DPR me-recall Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah.
Langkah DPR itu membuat polemik berkepanjangan. Ada ahli hukum tata negara yang menilainya konstitusional, ada juga yang menilai sebaliknya. Polemik ini membuat seorang advokat Zico Simanjuntak menggugat UU MK, khusus tata cara penggantian hakim konstitusi.
Pada 23 November 2022 pagi, Presiden Jokowi menyaksikan sumpah Guntur Hamzah sebagai hakim MK. Sorenya, MK memutuskan gugatan Zico Simanjuntak dengan hasil menolaknya.
Belakangan, putusan itu menuai kontroversi karena terdapat perbedaan di bagian pertimbangan.
Saat dibacakan:
"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".
Belakangan diketahui, kalimat dalam putusan itu berubah bila dibandingkan dengan putusan yang diunggah di situs web MK. Begini bunyinya:
"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".
Atas hal itu, Zico tidak terima dan melaporkan sembilan hakim MK ke Polda Metro Jaya. Riuh di media membuat MK akhirnya membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK). Sebuah majelis yang harusnya dibentuk pada 2020 atau terlambat 3 tahun.
"Kalau benar seperti yang didugakan itu serius, kalau benar seperti yang diduga itu ya. Apa bedanya 'dengan demikian' dengan 'ke depan', ya udah bisa nyimpulkan sendiri sebenarnya. Seriuslah, karena itu beda sekali kan. Itu sangat berbeda,," Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna kepada wartawan di gedung I MK, Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Di saat MKMK bekerja, bola panas kembali datang dari DPR. Sebab, pemerintah dan DPR sepakat akan merevisi UU MK lagi yang menjadi sumber masalah prahara MK. Perubahan yang diusulkan menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Termasuk dengan pentingnya materi pokok MK.
"Evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK, dan penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK," ujar anggota Komisi III DPR Habiburokhman.
Di sisi lain, masih berlangsung gugatan keppres hakim konstitusi Guntur Hamzah. Gugatan dilayangkan seorang advokat, Priyanto, ke PTUN Jakarta dan masih berlangsung.
"Jadi pengajuan gugatan ke PTUN Jakarta menjadi solusi untuk meluruskan kekeliruan yang ditimbulkan dari keppres dimaksud, sekalipun akan memakan waktu yang tidak singkat dengan proses peradilan yang bertahap. Itu merupakan risiko perjuangan yang harus saya ambil sebagai bentuk pertanggungjawaban moral saya," kata Priyanto.
(asp/dnu)