Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua MK. Keputusan hakim konstitusi menjadi dasarnya.
Anwar Usman adalah Ketua MK kelahiran 31 Desember 1956. Usianya kini 65 tahun. Masa jabatan Anwar Usman akan berakhir saat usianya 70 tahun, yakni 6 April 2026 kelak.
Memang berdasarkan UU MK, jabatan hakim konstitusi berakhir di usia kepala tujuh. Namun itu untuk masa jabatannya sebagai hakim MK, bukan sebagai Ketua MK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Senin (20/6) kemarin, MK mengetok putusan bahwa Pasal 87 huruf a UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal itu mengatur agar jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK lanjut terus. Karena pasal itu batal, Anwar Usman harus mundur dari kursi Ketua MK, juga Wakil Ketua MK harus ditinggalkan Aswanto.
Berikut adalah serba-serbinya:
Pasal yang batal
Berikut adalah bunyi Pasal 87 huruf a yang dibatalkan MK:
Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Pasal itu batal setelah MK mengabulkan gugatan sekelompok masyarakat. MK menilai Pasal 87 huruf a itu dinilai melanggar konstitusi. Sebab, kehendak pembentuk UU hanya mengubah masa jabatan hakim konstitusi, bukan jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK.
Masa jabatan hakim konstitusi adalah 15 tahun tanpa dikocok ulang atau pensiun di usia 70 tahun. Bukan berarti Anwar Usman bisa menjadi Ketua MK sampai usia 70 tahun (pensiun), karena yang diatur bukan masa jabatan Ketua MK, melainkan jabatan sebagai hakim konstitusi.
Waktu Anwar Usman maksimal 9 bulan lagi
Anwar Usman bisa saja tidak langsung mundur. Ada waktu maksimal sampai sembilan bulan sampai Ketua dan Wakil Ketu MK yang baru terpilih lewat mekanisme pemilihan. Ini disampaikan oleh hakim MK, Enny Nurbaningsih.
"Namun demikian, agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo, maka Ketua dan Wakil Ketua MK yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua MK sebagaimana amanat Pasal 24C ayat 4 UUD 1945. Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Enny Nurbaningsih.
Tak perlu mundur dari MK
Meski Anwar Usman mundur dari jabatan Ketua MK, namun dia tak mundur dari MK. Dia tetap menjabat sebagai hakim konstitusi.
Ptusan MK tidak mengharuskan keduanya mundur dari jabatan hakim MK. Sebab, perubahan masa jabatan hakim MK adalah hak pembentuk UU. Sehingga Pasal 87 huruf b tetap berlaku. Pasal 87 huruf b berbunyi:
b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang- Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.
Selanjutnya, Anwar Usman merasa dirinya tak perlu mundur:
Dissenting Opinion Anwar Usman
Anwar merasa dirinya tak perlu mundur dari jabatan Ketua MK. Namun suara Anwar Usman kalah dengan hakim konstitusi lainnya sehingga Anwar Usman harus mundur. Dalam putusan itu, Anwar Usman menyatakan dissenting opinion. Pasal 87 ayat a dinilainya sesuai dengan konstitusi.
"Pasal 87 huruf a menyangkut masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, karena jabatan dimaksud merupakan bagian dari hak memilih dan dipilih dari para hakim konstitusi, maka sudah selayaknya dan sewajarnya jika persoalan tersebut dikembalikan kepada pemangku hak, yakni para hakim konstitusi," kata Anwar Usman.
Baca juga: Anwar Usman Harus Tinggalkan Kursi Ketua MK |
Pemohon kecewa
Pemohon judicial review UU Mahkamah Konstitusi (MK) Allan Fatchan Gani Wardhana mengaku kecewa terhadap putusan MK. Meski demikian, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menghormati putusan itu.
Allan menggugat Pasal 87 huruf b UU MK yang berbunyi:
Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang- Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.
Namun permohonan itu tidak diterima MK. Allan Fatchan Gani Wardhana mengaku kecewa.
"Kami menilai bahwa dengan dihapusnya ketentuan masa jabatan periodik Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU MK maka UU MK kemudian mengubahnya dengan penentuan usia pensiun 70 (tujuh puluh) tahun dengan keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun telah menghilangkan ruang evaluasi kepada Hakim Konstitusi yang dimiliki oleh setiap Warga Negara Indonesia untuk menilai pelaksanaan tugas dan wewenang Hakim Konstitusi selama menjabat pada periode pertama," kata Allan Fatchan Gani Wardhana dalam siaran pers yang diterima detikcom, Senin (20/6/2022).