Cluster atau perumahan dalam jumlah kecil ditujukan untuk rumah tinggal agar lebih nyaman dan aman. Lalu bagaimana bila ada yang mengubah peruntukannya menjadi kantor CV atau malah kantor Perseroan Terbatas (PT)?
Berikut pertanyaan pembaca yang diterima detik's Advocate. Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com.
Simak pertanyaan lengkapnya:
Apakah wajar ada jenis usaha kantor CV atau PT di dalam cluster perumahan -/+ 50 rumah? Ada 10-12 kantor di dalam cluster perumahan pemukiman warga?? Kondisi cluster perumahan kecil, luasan 96-100 meter persegi. Apakah ada perda atau pergub atau undang-undangnya yang mengatur?
NOTE:
Mereka bukan warga. 80-90 persen mereka hanya menyewa rumah
Ada 1-2rumah saja yang mereka akhirnya jadi warga. Seharusnya orang dari luar semua
Ada yang rumah dibeli pemiliknya, rumah dijadikan kantor tidak ditinggalin, hanya dikelola karyawan, pemilik rumah atau usaha orang luar kota.
Kebanyakan buat kantor forwarder, atau kantor ekspor impor, ada juga buat kantor logistik. Ini berjalan 5-7 tahun terakhir. 10-13 tahun lalu, mugkin hanya ada 1-2 kantor saja.
Terima kasih
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan membantu untuk menjawabnya.
Tentang tempat usaha yang berada pada kawasan perumahan atau permukiman sebagaimana pertanyaan di atas, maka apabila kita mengacu kepada ketentuan Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman (UU 1/2011), dinyatakan bahwa pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan usaha secara terbatas tanpa membahayakan dan tidak mengganggu fungsi hunian. Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan Saudara yaitu diperbolehkan apabila suatu rumah dipakai untuk hunian sekaligus sebagai tempat usaha, namun tentu dengan persyaratan dan kesesuaiannya terhadap peraturan perundang-undangan terkait.
Perlu diperhatikan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, sehubungan dengan Izin Mendirikan Bangunan, guna memastikan bahwa pemanfaatan bangunan tersebut telah sesuai dengan fungsi peruntukannya.
Sebagaimana ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU 1/2011 di atas, yang paling penting adalah apakah rumah yang dijadikan tempat usaha tidak membahayakan dan tidak menggangu fungsi hunian, terutama bagi warga di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Ayat (2) UU 1/2011 yang menyatakan pemanfaatan rumah selain digunakan untuk fungsi hunian, harus memastikan terpeliharanya perumahan dan lingkungan hunian.
Sebelum tahun 2017, setiap tempat usaha harus mengurus Izin Gangguan dengan membayar Retribusi Izin Gangguan. Saat ini, telah diberlakukan aturan hukum yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah (Permendagri 19/2017). Peraturan ini mencabut aturan-aturan yang terkait dengan pedoman penetapan izin gangguan di daerah.
Namun demikian, sekalipun sudah ada Permendagri 19/2017 tersebut, implikasi penetapan izin gangguan diserahkan kepada kebijakan daerah masing-masing. Untuk itu, maka Saudara dapat menanyakan kepada tempat usaha tersebut, apakah mereka mempunyai Izin Gangguan dari Pemerintah Daerah setempat atau tidak.
LANGKAH HUKUM
Langkah hukum secara adminitratif dapat Saudara tempuh apabila tempat usaha di dalam permukiman tersebut diduga telah melanggar ketentuan Pasal 49 Ayat (2) UU 1/2011, yaitu menyebabkan tidak terpeliharanya perumahan dan lingkungan hunian. Sanksi administratif diatur di dalam ketentuan Pasal 150 Ayat (2) UU 1/2011, dengan terlebih dahulu sebelumnya membuat aduan kepada instansi terkait.
Apabila terbukti, maka tempat usaha yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi berupa:
1. peringatan tertulis;
2. pembatasan kegiatan pembangunan;
3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
4. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan;
5. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
6. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
7. pembatasan kegiatan usaha;
8. pembekuan izin mendirikan bangunan;
9. pencabutan izin mendirikan bangunan;
10. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah;
11. perintah pembongkaran bangunan rumah; pembekuan izin usaha;
12. pencabutan izin usaha; pengawasan; pembatalan izin;
13. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;
14. pencabutan insentif;
15. pengenaan denda administratif;
16. penutupan lokasi.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat.
Salam.
![]() |
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
detik's advocate
![]() |
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Simak juga 'Dear Pengabdi KPR Simak Penjelasan Ini Sebelum Beli Rumah':