Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indnesia (Permahi) mengkritik menteri yang merangkap sebagai ketua umum (Ketum) partai politik. Menurutnya, hal itu melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Ketua umum Permahi, Fahmi Namakule berpendapat, menteri yang menjadi Ketum partai telah melanggar UU Nomor 39 tahun 2008, pasal 23. Pasal tersebut berbunyi:
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Belanja Daerah.
Selain aturan itu, Fahmi pun menyinggung Undang-undang nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.
"Yang dalam ketentuan pasal 34 disebutkan bahwa keuangan Partai politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah," kata Fahmi, dalam keterangannya, Kamis (14/7/2022).
Dari dua aturan tersebut, Fahmi menyimpulkan, menteri yang merangkap jadi ketum partai sudah melanggar aturan.
"Cukup jelas pada UU tersebut, bahwa dijelaskan Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai Politik," katanya.
"Logikanya, Ketua Partai sudah ada anggaran dari Negara untuk menghidupi suatu Partai dan ini diatur dalam Konstitusi Negara kita," ucapnya.
Fahmi menyoroti ada menteri-menteri yang masih menjadi ketua umum partai politik. Para menteri tersebut mempromosikan dirinya atau anggota partainya kepada konstituen di daerah masing-masing.
"Oleh karena itu Permahi menilai bahwa, setiap Ketua Partai Politik yang merangkap jabatan sebagai menteri hal ini tentu inkonstitusional," ucapnya.
Simak juga 'Airlangga Sebut KIB Sudah Menentukan Capres di 2024':
(aik/dnu)