Dari tahun ke tahun, berkurangnya hutan Kalimantan belum setop sama sekali. Di sudut barat pulau besar ini, ada sosok penjaga hutan adat Dayak Bakati Rara. Secuil paru-paru dunia tetap lestari hingga kini.
Bila melihat peta perubahan penutupan lahan Pulau Kalimantan yang dirilis pemerintah, terlihat Pulau Kalimantan makin botak saja dari tahun ke tahun. Terlihat Kalimantan masih lumayan hijau pada 1990. Laju deforestasi tak tertahankan pada pergantian milenium kedua. Hijaunya hutan terlihat sudah tipis pada 2019. Siapa tak prihatin?
Bila kita melihat diagram batang soal perbandingan perubahan kawasan hutan dan non-hutan, maka terlihat ukuran kawasan hutan semakin turun sedangkan kawasan non-hutan semakin naik. Begitulah Kalimantan. Pada 1990, kawasan hutan masih dua kali lipat lebih luas ketimbang kawasan non-hutan. Mulai 2019, kawasan non-hutan sudah semakin bertambah sehingga sama luasnya dengan kawasan hutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sudut Kalimantan, ada sosok penjaga hutan adat. Laki-laki tua kepala enam dengan parang di tangan kanan berjalan menyusuri pinggiran hutan.
Dia adalah Damianus Nadu, putra Dayak Bakati Rara. Kini usianya sudah 63 tahun, namun semangatnya masih berkobar. Dari Hutan Adat Gunung Pikul-Pengajid, dia menginspirasi orang se-Indonesia.
Pada 9 Februari 2022, Damianus Nadu pergi ke ladang sejak pagi, sebagaimana keseharian banyak orang di pelosok Kalimantan. Sore harinya, barulah Nadu membagikan sekelumit ceritanya kepada detikcom via telepon.
Damianus Nadu bermukim di Dusun Melayang, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dialah sosok yang menjaga Hutan Adat Gunung Pikul-Pengajid.
Berdasarkan catatan berita yang dimuat detikcom, perjuangannya sudah diganjar penghargaan sejak 2019. Damianus Nadu menjadi salah satu penerima penghargaan kategori tokoh perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019. Penghargaan diberikan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, 28 November 2019.
Pada 28 Oktober 2021, Damianus Nadu dianugerahi Kalpataru oleh Menteri Siti Nurbaya. Dia diakui negara sebagai pahlawan lingkungan yang menjadi contoh baik bagi masyarakat. Damianus Nadu menerima penghargaan dalam kategori perintis lingkungan.
![]() |
Meski menjadi pahlawan lingkungan dan meraih penghargaan tertinggi, keseharian Damianus biasa-biasa saja. Dia juga tidak menjadi bergelimang harta dari upayanya menjaga hutan. Dia menyadari, menjaga hutan memang bukan urusan bisnis.
"Pekerjaan melestarikan hutan bukan pekerjaan mencari untung. Keuntungan pribadi hampir tidak ada. Saya juga cari beras seperti orang lain, bekerja sebagai peladang, berkebun, menoreh, bertani jagung, padi," kata Damianus Nadu kepada detikcom.
Damianus Nadu yang lahir pada 6 Oktober 1959 ini dikaruniai empat orang anak. Dia berpendidikan terakhir Paket A namun anaknya ada yang berhasil menjadi sarjana. Dia kini sudah berstatus 'kakek-kakek' karena sudah punya enam orang cucu. Namun keteguhannya menjaga hutan tidak berubah sejak zaman Orde Baru dulu. Nadu tetap gigih mempertahankan jengkal demi jengkal hutan adatnya.
Selanjutnya, Hutan Adat Pikul:
Simak Video: Perancang Istana Negara Baru, Tak Mau Dibayar Malah Mau Menyumbang
Hutan Adat Pikul
Hutan Adat Gunung Pikul-Pengajid, sering disebut Hutan Adat Pikul saja, adalah hutan adat milik masyarakat Dayak Bakati Rara. Luasnya adalah 100 hektare. Damianus Nadu punya alasan kuat menjaga Hutan Adat Pikul.
"Ini adalah warisan leluhur, titipan nenek moyang, sampai kapan pun tanpa terkecuali harus dijaga dan dipertahankan," kata Nadu kepada detikcom.
100 hektare sama dengan 1 km2. Ukuran itu tentu tidak besar bila dibandingkan dengan luas Pulau Kalimantan. Namun 100 hektare inilah yang berhasil masyarakat pertahankan mati-matian dari zaman ke zaman, melewati tantangan penebangan legal, penebangan ilegal, dan ancaman ekspansi kebun sawit.
"100 hektare inilah hasil kemampuan kita menggadaikan nyawa," kata Nadu.
![]() |
Awalnya, Hutan Adat Pikul disebut Nadu tiga kali lipat lebih luas ketimbang saat ini, namun kini tersisa 100 hektare. Penjagaan hutan adat ini lantas terus diperjuangkan hingga dikukuhkan statusnya sebagai hutan adat oleh Bupati Jakobus Luna tahun 2000. Terbitlah Surat Keputusan (SK) dari pemerintah, pertama SK Bupati Nomor 131 Tahun 2002. Selanjutnya pada 2018, Menteri Siti Nurbaya Bakar menerbitkan SK 1300/MENLHK-PSKL/PKYHA/PSL.1/3/2018.
Hutan Adat Pikul ini menyimpan keanekaragaman hewani berupa beruk, musang, kancil, kucing hutan, dan pelbagai burung. Burung enggang (rangkong) juga sering datang dan pergi ke hutan ini. Keanekaragaman hayati di sini antara lain berupa jenis anggrek, pohon gaharu, meranti, kapur, hingga ulin. Ada pula pohon bengkirai (Shorea lavefolia Endent).
"Pohon bengkirai kita ada yang sangat besar, delapan orang atau tujuh orang memeluk pohon itu pun belum cukup. Usianya sudah sangat tua," kata Nadu.
Helmut Tambunan dkk dari Universitas Tanjungpura pernah meneliti keanekaragaman pepohonan di sini, diterbitkan di Jurnal Hutan Lestari, Volume 6 (4) Tahun 2018. Dia menyebut ada 93 jenis pohon di sini, berasal dari 38 famili dan teridentifikasi dengan kerapatan 232 individu/ha. Komposisi jenis didominasi oleh jenis kapur, bengkirai, meranti merah, dan ubah merah.
Satu kekayaan Hutan Adat Pikul yang menonjol adalah pohon tengkawang (Shorea spp.), pohon langka sejenis meranti khas Kalimantan Barat yang terancam punah. Buah tengkawang diolah masyarakat setempat dan menjadi komoditas yang mendukung kelestarian alam.
![]() |
"Ini pohon langka dan hampir punah. Zaman dulu, memang banyak pohon tengkawang, tetapi sekarang hanya beberapa kabupaten saja yang punya tengkawang, salah satunya di Hutan Adat Gunung Pikul-Pengajid ini," kata Nadu.
Jenis-jenis tengkawang di sini ada enam jenis, antara lain tengkawang tempiras (Shorea macrophylla), tengkawang pengampeng (Shorea pinanga), tengkawang terendak (Shorea seminis), tengkawang tungkul (Shorea stenoptera), dolon, tengkawang jantung (Shorea macrophylla), hingga tengkawang layar (Shorea mecistopteryx). Sugiarti Tampubolon dkk dari Universitas Tanjungpura pernah meneliti soal tengkawang di sini, laporannya dituangkan dalam Jurnal Hutan Lestari Vol 6 Tahun 2018.
![]() |
Pohon tengkawang berbuah setelah umurnya enam sampai tujuh tahun. Pemanfaatan buahnya adalah diolah dengan cara dikeringkan dengan penjemuran, digiling, dan diolah menjadi minyak. Produk turunan tengakwang antara lain kosmetik, sabun, obat, penyedap makanan, hingga mentega. Puluhan masyarakat Dusun Melayang terlibat dalam produksi pengolahan buah tengkawang menjadi minyak tengkawang. Universitas Tanjungpura juga membantu pemberdayaan di hutan adat ini. Peralatan semi-modern didatangkan untuk memproduksi minyak tengkawang.
"Kadang ada permintaan dari luar negeri juga untuk mengirim produk tengkawang. Pernah dikirim ke Prancis, ke Jepang. Skalanya masih skala kecil, 20 kg, 30 kg," kata Nadu. "Perlu dibantu pemerintah untuk mengembangkan minyak tengkawang," tandasnya.