Indeks Persepsi Korupsi di Bawah Rata-rata, MAKI Minta Novel dkk Ditarik ke KPK

Indeks Persepsi Korupsi di Bawah Rata-rata, MAKI Minta Novel dkk Ditarik ke KPK

Adhyasta Dirgantara - detikNews
Kamis, 27 Jan 2022 07:17 WIB
Boyamin Saiman
Foto: Koordinator MAKI Boyamin Saiman (Farih Maulana Sidik/detikcom)
Jakarta -

Skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2021 masih berada di bawah rata-rata, yakni 38. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta agar Novel Baswedan dan eks pegawai lain yang dipecat ditarik kembali ke KPK.

"Solusi untuk Indeks Persepsi Korupsi naik, ini ambil semua yang dulu ditendang, tarik kembali. Karena mereka yng bisa diandalkan untuk perbesar pemberantasan korupsi. Betul (Novel dkk)," ujar Boyamin saat dimintai konfirmasi, Rabu (26/1/2022).

Boyamin mengungkapkan UU KPK yang direvisi harus dibatalkan dan kembali ke UU yang lama untuk mendongkrak Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia. Selain itu, dia mendesak pimpinan KPK yang pernah disanksi dewan pengawas (dewas) mengundurkan diri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"UU KPK yang direvisi dibatalkan, kembali ke UU lama. Apapun revisi ini termasuk salah satu yang menurunkan indeks kita. Kedua, orang-orang pimpinan KPK yang kemarin kena sanksi etik dewas menurut saya mengundurkan diri," tuturnya.

"Ketiga, harus berani (menangkap) yang besar-besar. Dan juga kemarin yang menurunkan persepsi itu salah satunya adalah TWK. Yang kemudian tidak menjadikan ini naik itu salah satunya TWK itu," sambungnya.

ADVERTISEMENT

ICW Nilai Pemberantasan Korupsi Era Jokowi Jalan di Tempat

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menjelaskan Indeks Persepsi Korupsi yang masih di bawah rata-rata menjadi pertanda pemberantasan korupsi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) jalan di tempat.

"Masa depan pemberantasan korupsi menemui jalan terjal. Betapa tidak, sesumbar yang selama ini diucapkan oleh pemerintah untuk membantah pelemahan terhadap agenda pemberantasan korupsi belum terbukti. Alih-alih meningkat signifikan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya bertambah satu poin, dari 37 menjadi 38. Hal ini setidaknya menjadi pertanda bahwa pemberantasan korupsi selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo berjalan di tempat," kata Kurnia melalui keterangannya.

Kurnia mengungkapkan, pada saat yang sama, arah politik hukum pemberantasan korupsi semakin mengalami kemunduran. Pangkal persoalannya pun klasik, yakni ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi.

Menurutnya, selama ini pemerintah hanya disibukkan dengan pembenahan sektor ekonomi dengan memproduksi beragam proyek infrastruktur dan penguatan investasi. Alhasil, akibat kekeliruan arah itu, mayoritas kalangan pebisnis mengambil untung di tengah stagnasinya situasi penegakan hukum.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya...

Lihat juga Video: Indeks Persepsi Korupsi Meningkat, Ma'ruf Amin: Jangan Puas Diri

[Gambas:Video 20detik]



"Peningkatan IPK Indonesia tahun ini tentu harus dibenturkan dengan realita pemberantasan korupsi terkini. Secara kasat mata, tahun 2021 sebenarnya masih menjadi periode implikasi atas akumulasi kekeliruan pemerintah ketika mengubah haluan pemberantasan korupsi melalui sejumlah regulasi dan kebijakan. Ini dapat dibuktikan dengan masifnya kritik masyarakat terhadap kinerja lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK," terangnya.

Tidak hanya itu, lanjut Kurnia, pada awal Januari lalu, Indikator Politik Indonesia menguatkan kesimpulan tersebut dengan menemukan adanya persepsi buruk dari sebagian besar masyarakat terhadap komitmen antikorupsi pemerintah. Maka dari itu, meningkatnya poin dan peringkat Indonesia semestinya dimaknai sebagai bahan evaluasi mendasar untuk mengembalikan pemberantasan korupsi ke arah yang benar, bukan justru mengglorifikasikannya.

Merujuk pada sejumlah dokumen janji politik yang digaungkan oleh Joko Widodo saat mengikuti kontestasi politik 2014 dan 2019, narasi penguatan pemberantasan korupsi terbilang baik dan menawarkan harapan. Sayangnya, Kurnia mengatakan keinginan untuk mengubah citra pemberantasan korupsi hanya berhenti pada tumpukan berkas janji kampanye tanpa adanya implementasi yang konkret.

"Ditambah lagi dengan ketidakmampuan Presiden untuk memimpin orkestrasi penegakan hukum menggunakan kewenangan dan struktur sumber daya politik yang dimilikinya selama ini. Mirisnya, Presiden justru menjadi salah satu dalang di balik ambruknya pemberantasan korupsi belakangan waktu terakhir," ungkap Kurnia.

Selain itu, Kurnia membeberkan sejumlah persoalan yang berkaitan dengan rendahnya kenaikan IPK Indonesia. Berikut sejumlah isu yang dimaksud versi ICW:

1. Pemerintah hanya disibukkan dengan agenda pencarian ladang ekonomi untuk kepentingan investasi. Bukan tanpa dasar, cerminan kebijakan pemindahan ibukota dan klaim kemudahan sektor ekonomi melalui Omnibus Law dapat dijadikan rujukan utama. Proses kilat saat pembahasan aturan dengan menabrak aturan formal menjadi argumentasi utama untuk membantah logika yang dibangun oleh pemerintah. Sayangnya, pemerintah terlewat bahwa persoalan utama yang masih mendera sektor ekonomi menyangkut kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan aspek pemberantasan korupsi.

2. Agenda reformasi hukum tidak pernah diprioritaskan. Penting untuk ditekankan, secara administrasi seluruh pimpinan aparat penegak hukum berada di bawah kekuasaan eksekutif. Dengan logika seperti ini semestinya Presiden bisa mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsinya. Namun, berdasarkan temuan ICW dalam Tren Penindakan semester pertama tahun 2021, jumlah penyidikan perkara korupsi yang dilakukan tiga penegak hukum itu mengalami penurunan. Selain itu, khusus terkait KPK, sepanjang tahun lalu yang tampak hanya kegaduhan tanpa mampu menunjukkan prestasi sebagaimana lazim terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Ditambah dengan fakta mengendurnya Rule of Law Index yang dirilis oleh World Justice Project tahun 2021 semakin menguatkan indikasi reformasi hukum masih sebatas jargon semata.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya...

3. Permasalahan grand corruption yang tak kunjung tuntas. Tidak ada komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus grand corruption atau korupsi berskala besar. Kasus-kasus besar seperti reklamasi Jakarta, KTP elektronik, surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), dan sederet kasus lainnya berhenti hanya pada sedikit tersangka atau terpidana. Padahal kasus tersebut berpotensi melibatkan aktor-aktor besar. Kondisi yang dibentuk hari-hari ini bahkan membuka ruang praktik grand corruption untuk semakin marak terjadi. Pelemahan KPK lewat revisi UU membuat aktor-aktor yang membajak proyek negara sulit disentuh secara hukum. Ini diperparah dengan kehadiran UU Minerba serta UU Cipta Kerja yang menjamin pebisnis untuk mendapat keuntungan dengan mengeruk sumber daya alam. Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah grand corruption pada akhirnya hanya menguntungkan sedikit orang dengan cara merugikan orang banyak.

4. Menyempitnya ruang partisipasi warga dalam agenda pemberantasan korupsi. Poin ini menitikberatkan pada ancaman yang masih banyak diterima oleh warga negara ketika menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara. Bentuknya pun semakin beragam, mulai dari pelaporan menggunakan delik pencemaran nama baik, peretasan, hingga kekerasan fisik. Padahal, peran serta warga negara dibutuhkan dan dijamin keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan untuk berkontribusi terhadap penegakan hukum. Dari sini terlihat kelindan yang kuat antara penurunan demokrasi dengan stagnasi pemberantasan korupsi.

Untuk mendorong perbaikan dalam keseluruhan kebijakan pemberantasan korupsi, maka ICW mendesak agar:

1. Presiden beserta seluruh jajarannya mengedepankan pembenahan sektor penegakan hukum melalui perubahan sejumlah regulasi, diantaranya, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Presiden memerintahkan lembaga penegak hukum untuk fokus pada tugas utama pemberantasan korupsi dan menghilangkan setiap kegaduhan yang berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat.

3. Presiden memerintahkan lembaga penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar (grand corruption) dan mempersempit ruang terjadinya praktik tersebut.

4. Presiden menghentikan upaya pemberangusan partisipasi warga negara yang bergerak dalam isu antikorupsi.

Rangking 96

Sebelumnya, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami kenaikan skor. Tahun 2021, skor CPI Indonesia yakni 38 dan berada di peringkat 96 di dunia.

"Lalu pertanyaannya bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2021 memperoleh skor 38 dengan rangking 96," kata Deputi Sekjen Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko, Selasa (25/1).

Wawan mengatakan skor Indonesia mengalami kenaikan satu poin. Di tahun 2020, Indonesia mendapat skor 37 dan berada di peringkat ke-102 di dunia.

Halaman 2 dari 3
(drg/isa)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads