Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa buka suara mengenai dugaan pelanggaran hukum di balik proyek pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2015. Andika mengatakan pihaknya menunggu proses hukum yang sedang berlangsung di Kejagung.
"Karena ini koneksitas, maka kami menunggu, sehingga saat saya menghadap Bapak Jaksa Agung, intinya kami bukan lead sector dalam proses hukum koneksitas," kata Andika pada wartawan di Gedung Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Senin (17/1/2022).
Dia menyebut TNI akan melakukan tindak lanjut terkait proyek satelit tersebut. Namun hal itu bisa terlaksana bila proses hukum di Kejagung telah rampung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat nanti penyidik Kejaksaan Agung sudah menemukan, baru akan dikoordinasikan dengan kami yang menjadi kewenangan TNI," sambungnya.
Seperti diketahui, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukan) Mahfud Md menyebut adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek di Kementerian Pertahanan tahun 2015. Akibatnya, negara mengalami kerugian ratusan miliar rupiah.
"Tentang adanya dugaan pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara atau berpotensi menyebabkan kerugian negara karena oleh pengadilan ini kemudian diwajibkan membayar uang yang sangat besar, padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum, yaitu Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, sudah lama, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu, padahal anggarannya belum ada," kata Mahfud Md saat konferensi pers di kantornya, Kamis (13/1).
Kontrak itu berhubungan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang pengelolaan satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur yang terjadi sejak 2015 hingga sekarang. Secara ringkas, Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbu, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat tanpa adanya ketersediaan anggaran.
Akibatnya, pemerintah Indonesia digugat oleh Avanti dan Navayo. Mahfud menyebut pemerintah diharuskan membayar denda sebanyak ratusan miliar kepada dua perusahaan tersebut.
"Kemudian Avanti menggugat pemerintah Indonesia di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani sehingga pada 9 Juni 2019 Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar untuk sewa satelit Artemis ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp 515 miliar. Jadi negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," tegasnya.
Terpisah Kejagung pun telah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. Kejagung telah memeriksa 11 saksi terkait kasus satelit Kemhan ini saat tahap penyelidikan.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah menerangkan 11 saksi yang telah diperiksa dan terdiri atas beberapa orang di Kementerian Pertahanan (Kemhan). Kemudian ada juga dari pihak swasta.
"Jadi ini kita telah menyelidiki terhadap kasus ini selama satu minggu, kita sudah memeriksa beberapa pihak, baik dari pihak swasta atau rekanan pelaksana, maupun dari beberapa orang di Kementerian Pertahanan. Jumlah yang kita periksa ada 11 orang," kata Febrie dalam jumpa pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Jumat (14/1).