Obituari Eks Hakim Agung Adi: Gaji Rp 412, 'Dipecat' karena Bongkar Kolusi MA

Obituari Eks Hakim Agung Adi: Gaji Rp 412, 'Dipecat' karena Bongkar Kolusi MA

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 12 Jan 2022 16:02 WIB
adi andojo
Adi Andojo saat diskusi di Jakarta (hasan/detikcom)
Jakarta -

Adi Andojo berpulang untuk selamanya dini hari tadi. Kiprahnya di dunia peradilan mewarnai jagat hukum, dari membongkar kolusi di Mahkamah Agung (MA) hingga ketokan vonis yang sangat keras.

"Kami segenap pimpinan MA dan jajarannya menyatakan rasa duka atas 'berpulangnya' bapak senior kami, guru kami, dan mantan pimpinan kami karena beliau pernah menjabat sebagai Ketua Muda MA Bidang Pidana pada sekitar tahun 80-an," kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Rabu (12/1/2022).

Masa Kecil Adi Andojo

Saat Adi lahir pada 11 April 1932, ayahnya adalah wakil panitera di Landraad (pengadilan khusus untuk pribumi) Yogyakarta. Ayah Soetjipto adalah asisten Wedana di Baron.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 1933, keluarga Soetjipto pindah ke Banyumas karena Soetjipto mendapat promosi menjadi Panitera Landraad Banyumas. Kala itu, Banyumas berstatus karesidenan dan membawahi empat kabupaten, yaitu Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Dengan jabatan itu, Soetjipto mendapat gaji yang cukup besar dari pemerintah Belanda. Hal itu terbukti ia bisa membeli sebuah mobil, barang supermewah kala itu. Adi kecil kerap diajak liburan di Pantai Widarapayung, Cilacap.

ADVERTISEMENT

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Soetjipto menjadi hakim di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi. Dari Banyuwangi, Soetjipto dipromosikan ke PN Kebumen. Tak berapa lama, Soetjipto kembali dipromosikan menjadi hakim di PN Tanjungkarang, Lampung, pada 1956.

Saat bertugas di Tanjungkarang itu, ibu Adi, Soetjiati, bercerita kepada Adi bahwa ayahnya sedang menangani perkara. Saat itu Adi sudah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).

"Pengacara yang mendampingi Terdakwa mendekati Soetjipto dan mau memberikan sebuah oplet. Namun tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Soetjipto," kutip detikcom dari buku biografi Adi Andojo "Menjadi Hakim yang Agung".

Simak juga Video: Pembuat Jadah Tempe Mbah Carik Kaliurang Meninggal Dunia

[Gambas:Video 20detik]



Hakim dengan Gaji Rp 412

Berbagai pengalaman ayahnya membuat Adi yakin dan mantap bercita-cita menjadi hakim. Cita-citanya terkabulkan selepas mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Mr) pada 1958 dan bertugas pertama di Madiun.

Di PN Madiun itulah Adi mendapat cobaan sogokan pertama selama menjadi hakim. Kala itu Adi mengadili terdakwa Ie Djiang Ing pada 1960. Ing tiba-tiba mendatangi kantor Adi dan memberikan jam tangan Omega dan kain wol.

Barang itu diinapkan dua hari dengan pikiran berkecamuk. Gaji sebagai hakim tidak seberapa dan bapak kos selalu menyindirnya untuk membayar uang kos tidak telat. Di saat demikian, Adi teringat sosok ayahnya.

"Akhirnya saya pikir nggak bener nih. Saya kembalikan kepada orang itu. Saya akui kejujuran yang ditanamkan ayah saya akhirnya menang melawan sogokan itu," cerita Adi di halaman 79.

Barang itu dikembalikan langsung ke Ing dan Ing menerimanya penuh kemarahan. Setelah meninggalkan pengadilan, Ing meludah ke tanah dengan penuh kemarahan.

Lalu berapakah gaji Adi kala itu? Ia hanya digaji Rp 412 per bulan! Adi akhirnya menjadi hakim agung pada 1980.

Pemalsuan Putusan MA

Adi menceritakan saat ia memutus perkara penyelundupan rotan di tingkat kasasi atas nama terdakwa Tony Guritman. Awalnya Tony divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Jaksa mengajukan kasasi dan dikabulkan pada 21 Februari 1990.

"Tony dijatuhi hukum 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta," kata Adi dalam halaman 167 sebagaimana dikutip detikcom, Minggu (19/3/2017).

Kasus pemalsuan putusan ini terungkap secara kebetulan ketika Adi berkunjung ke Surabaya pada 28 November 1990. Pada waktu itu, Adi menjadi pembicara seminar yang diikuti jaksa. Dalam seminar itu, Adi mencontohkan kasus Tony yang dihukum penjara di tingkat kasasi karena sudah ada niat dari Tony dalam tindak pidana penyelundupan itu.

Saat pulang ke bandara, Adi diantar beberapa jaksa. Dalam kesempatan itu, beberapa jaksa menanyakan pernyataannya di seminar dan fakta di lapangan. Faktanya, Tony telah dibebaskan lewat surat keputusan MA. Informasi itu tentu membuat Adi terkaget-kaget. Bagaimana mungkin Tony bisa bebas karena dia sendiri yang telah memutuskan Tony bersalah.

Dari bandara, Adi langsung menelepon staf di MA di Jakarta agar jangan pulang dulu karena Adi ingin mampir ke kantor MA setelah tiba di Jakarta untuk memeriksa berkas yang berkaitan dengan Tony.

"Setelah memeriksa berkas, saya menemukan keputusan yang dibuat berbeda dengan surat yang dikirim ke PT Surabaya," tutur Adi yang juga menjadi Ketua Muda MA bidang Pidana periode 1981-1997 itu.

Mengetahui itu, Adi langsung melaporkan kepada Ketua MA Ali Said.

"Pak Ali bilang 'wis terus no/ya teruskan'," ujar Adi.

Pemeriksaan internal menemukan putusan Nomor 1805 K/Pid/1989 itu ternyata dipalsukan pejabat Direktorat Pidana M Naseer dan dua karyawan lainnya. Kasus pemalsuan putusan itu juga menyeret pengacara Tony, Harjono Tjitrosoebono. Siapakah Harjono? Ia ternyata teman satu asrama Adi saat kuliah di FH UI 1952-1958.

Meski mengaku tidak menerima uang sepeser pun dari Harjono, Adi malah meminta sahabatnya tidak dihukum. Dia menyadari tindakannya itu salah.

"Kepada penyidik, saya pesan agar Pak Harjono jangan diutak-atik. Teman seasrama saya di Pegangsaan Timur. Pak Harjono kan sudah tua. Saya kasihan. Ini kelemahan saya," aku Adi di halaman 168.

Putusan Fenomenal Adi Andojo

Salah satu vonis yang membuat rezim Orde Baru gerah adalah kasus Mukhtar Pakpahan. Pada 14 April 1994, Mukhtar memimpin demo buruh di Sumut menuntut upah harian dinaikkan dari Rp 3.100 menjadi Rp 7.000 per hari. Demo itu berakhir bentrok dan merenggut nyawa buruh.

Mukhtar lalu diadili dengan pasal penghasutan. Awalnya, Mukhtar dihukum 3 tahun penjara. Di tingkat banding, vonis Mukhtar dinaikkan menjadi 4 tahun penjara. Nah, oleh hakim agung Adi Andojo, Mukhtar dibebaskan. Vonis bebas itu dijatuhkan Adi bersama hakim agung Karlinah Palmini dan hakim agung Tomy Boestomi pada 29 September 1995.

"Nggak (takut). Saya malah bangga. Saya bangga berani memutuskan Mukhtar Pakpahan bebas," kata Adi, yang dikutip dari buku biografi 'Menjadi Hakim yang Agung', Jumat (24/3/2017).

Selain itu, Adi Andojo mengetuk palu kasus korupsi Rp 800 miliar lebih pada 1992. Nilai yang sangat fantastis di zaman kurs dolar AS masih di angka Rp 2.000-an.

Kasus yang dimaksud adalah pembobolan Bank Duta yang dilakukan oleh wakil dirutnya sendiri, Dicky Iskandar Dinata. Di tingkat kasasi, hakim agung yang juga Ketua Muda MA Bidang Pidana, Adi Andojo, menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Dicky pada 26 Mei 1992. Yang membuat geger publik adalah keberanian Adi memerintahkan Dicky mengembalikan uang yang dikorupsinya sebesar Rp 811 miliar.

"Bila terdakwa meninggal, ahli waris dan keluarga koruptor itu harus menanggung kerugian negara," kutip detikcom dari buku biografi Adi Andojo 'Menjadi Hakim yang Agung'. Ahli waris yang masih hidup di antaranya adalah sineas Nia Dinata.

Pada tahun 2000-an, Dicky kembali membobol BNI dan dihukum 20 tahun penjara. Dicky akhirnya meninggal saat menjalani masa pemidanaan.

Bongkar Kolusi di MA yang Berujung 'Pemecatan'

Adi merupakan Ketua Muda MA Bidang Pidana Umum 1981-1996. Pada 1995, terjadi skandal besar di MA, yaitu kolusi antara hakim agung, pengacara, dan terdakwa dalam sengketa Gandhi Memorial School.

Sang pengacara, Djazuli Bahar, adalah mantan hakim agung, yang meminta perkara yang dibelanya diprioritaskan. Djazuli meminta bantuan mantan anak buahnya yang masih dinas, Direktur Pidana MA Sujatmi, untuk memproses berkas tersebut. Sujatmi berhasil mengurus berkas tersebut dan perkara masuk ke majelis Tim D, dari yang seharusnya Tim G.

Hasilnya, terdakwa divonis bebas dalam waktu yang sangat cepat, yaitu 132 hari. Vonis bebas itu diketok oleh ketua majelis Samsoeddin.

Kolusi ini membuat geger para pihak. Pimpinan MA segera mengadakan rapat pimpinan pada 5 Desember 1995. Setelah itu, Adi mengirim surat ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat agar kejaksaan mengajukan peninjauan kembali (PK) karena telah didapatkan adanya kolusi antara terdakwa atau pengacara dengan majelis hakim agung yang mengadili perkara tersebut.

HAKIM AGUNG ADI ANDOJOHAKIM AGUNG ADI ANDOJO (Andi Saputra/detikcom)

Surat itu ternyata bocor dan sampai ke publik. Jagat hukum Indonesia dibuat geger. Masyarakat mendorong Adi untuk membongkar tuntas kasus itu. Di sisi lain, Adi meminta pimpinan MA segera memeriksa seluruh pihak terkait.

Anehnya, pimpinan MA malah mengambil langkah sebaliknya. Adi dilarang berbicara ke wartawan dan di berbagai kesempatan di ruang publik seperti seminar. Tidak hanya itu, Adi tidak lagi diikutkan rapat pimpinan MA, padahal ia adalah Ketua Muda MA Bidang Pidana Umum. Kewenangan Adi sebagai Ketua Muda MA juga dilucuti, yaitu tidak lagi boleh membagi perkara.

Adi juga mendapat ancaman lewat telepon dari orang yang tidak dikenal.

"Ancamannya berbunyi: jangan diteruskan bicara sebab kami sudah menyiapkan pembunuh bayaran," cerita Adi di halaman 232.

Puncaknya, Ketua MA Soerjono menyurati Presiden Soeharto pada 25 Juni 1996 agar Presiden Soeharto memberhentikan Adi dengan alasan melakukan tindakan indisipliner. Ikut menandatangani surat itu Ketua Muda MA Bidang Militer Sarwata, Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara Ketut Suraputra, Ketua Muda MA Bidang Agama M Yahya, Ketua Muda MA Bidang Perdata M Imam, dan Ketua Muda MA Bidang Perdata Adat Palti Radja Siregar.

Alasan Ketua MA Soerjono dkk adalah Adi telah mengungkap keburukan MA kepada pihak luar, termasuk kepada pers asing.

Surat Ketua MA ke Presiden Soeharto itu membuat rakyat marah. Mereka melakukan aksi di berbagai tempat. Akhirnya, Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 19/PENS.TAHUN 1997 tertanggal 4 April 1997 yang menegaskan Adi pensiun secara normal.

"Saya pensiun terhitung 1 Mei 1997 karena pada 11 April 1997 saya berusia 65 tahun," tutur Adi. Saat itu, hakim agung pensiun pada usia 65 tahun, kini 70 tahun.

Halaman 4 dari 4
(asp/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads