Promosi penjualan properti sangat menggiurkan. Dari bebas administrasi, diskon hingga hadiah langsung atau undian. Nah bagaimana bila developer tidak menepati janjinya sebagaimana tertuang di brosur?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com Berikut pertanyaan lengkapnya:
Yth. detikcom
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya ibu T di Tajurhalang Bogor mau bertanya, saya memiliki rumah KPR BTN yang sudah berjalan 10 tahun, 8 bulan dengan masa kredit 15 tahun. Tapi sampai sekarang sertifikat saya di Bank BTN belum ada. Setelah tanya ke developer, mengatakan ada biaya BPHTB yang harus dibayarkan ke notaris.
Sementara waktu saya beli rumah dari developer ada pernyataan di brosur penjualan yaitu harga sudah termasuk biaya AJB, balik nama sertifikat, IMB, listrik nonsubsidi, BPHTB dan PPN ( subsidi).
Apa yang harus saya perbuat kepada developer dan pihak Bank BTN? Apakah benar saya harus bayar biaya BPHTB ke notaris? (luas tanah 60 m2, KPR subsidi akad tahun 2011).
Mohon bantuan jawaban.
Terima kasih
Untuk menjawab masalah di atas, tim detik's Advocate meminta pendapat hukum dari Slamet Yuono, S.H., M.H. (Partner pada Kantor Hukum 99 & Rekan). Simak di halaman selanjutnya untuk mengetahui jawaban lengkapnya:
Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Ibu T sampaikan kepada detik's Advocate.
Dalam kronologi yang disampaikan, Ibu T menanyakan beberapa hal, antara lain :
1. Apakah benar saya harus bayar BPHTB ke Notaris ?
2. Apa yang harus saya perbuat kepada pihak Developer dan Pihak Bank ?
Dari uraian yang disampaikan, kami berasumsi antara Ibu T dengan pihak developer telah membuat dan menandatangani PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), dimana PPJB ini dibuat sebagai pengikatan awal karena biasanya sertipikat hak atas tanah atas nama pengembang/developer masih dalam proses pemecahan di BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pada pasal 22J menyebutkan :
"PPJB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf b paling sedikit memuat:
a. identitas para pihak;
b. uraian objek PPJB;
c. harga rumah dan tata cara pembayaran;
d. jaminan pelaku pembangunan;
e. hak dan kewajiban para pihak;
f. waktu serah terima bangunan;
g. pemeliharaan bangunan;
h. penggunaan bangunan;
i. pengalihan hak;
j. pembatalan dan berakhirnya PPJB; dan
k. penyelesaian sengketa.
Bahwa setelah PPJB dibuat oleh para pihak dan Sertipikat Tanah hasil pemecahan telah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional maka langkah selanjutnya adalah membuat dan menanda-tangani Akta Jual Beli dihadapan Notaris/PPAT, dimana persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pembeli antara lain:
1. Fotocopi KTP Wajib Pajak;
2. Fotocopi Kartu Keluarga (KK);
3. Fotocopi surat menikah (bagi yang sudah menikah);
4. Fotocopi NPWP.
Di samping memenuhi syarat tersebut, Pembeli harus mengeluarkan biaya yaitu BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), jika Penjual/Developer pada saat pemasaran dan sebelum ditanda tangani PPJB menyampaikan segala biaya ditanggung oleh Penjual/harga sudah termasuk biaya BPHTB, maka pembayaran biaya BPHTB tersebut adalah merupakan kewajiban dari Penjual/Developer.
1. APAKAH BENAR SAYA HARUS BAYAR BPHTB KE NOTARIS ?
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak, definisi mengenai BPHTB ini diatur dalam Pasal (1) butir.1 Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Bahwa pembayaran BPHTB yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Konsumen merupakan pembayaran Pajak yang disetorkan ke Kas Negara, sedangkan Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara, pengertian ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir. 2 UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Pembayaran/Penyetoran BPHTB ke Kas Negara bisa dilakukan melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Pembayaran tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan bisa juga dibantu dibayarkan oleh Notaris/PPAT dengan memberikan Surat Kuasa untuk melakukan pembayaran pajak tersebut.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, secara tegas mengatur mengenai larangan bagi Notaris menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan sebelum BPHTB dibayarkan disertai dengan bukti pembayaran, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 26, yang berbunyi :
Pasal 24 ayat 1:
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 26 ayat 1
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
Dari penjelasan diatas mengenai BPHTB, Kas Negara dan Notaris dapat ditarik kesimpulan antara lain :
1. Bahwa pembayaran BPHTB adalah ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri.
2. Pembayaran BPHTB dapat dilakukan oleh Wajib Pajak secara langsung maupun dibantu oleh Notaris dalam kedudukannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
3. Pembayaran BPHTB bukan ditujukan kepada Notaris/PPAT tetapi bisa melalui Notaris/PPAT untuk selanjutnya di bayarkan ke Kas Negara.
Lihat juga Video: Beli Rumah Seharga Satu Piring Nasi Goreng, Mau?
2. APA YANG HARUS SAYA PERBUAT KEPADA PIHAK DEVELOPER DAN PIHAK BANK ?
Atas kejadian yang dialami oleh Ibu T, langkah pertama yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan klarifikasi dan meminta dokumen-dokumen yang menjadi hak Ibu T kepada Developer, Notaris maupun Pihak Bank:
1. Minta fotocopi/salinan PPJB dari Developer;
2. Minta Salinan Akta Jual Beli (AJB) kepada developer atau PPAT/Notaris yang, jika pada saat itu sudah dibuat dan ditanda tangani, jika belum dibuat maka segera mengajukan permintaan kepada Developer dengan diketahui Pihak Bank untuk membuat Akta Jual Beli dihadapan PPAT/Notaris.
3. Minta Fotocopi Akad/Perjanjian Kredit KPR kepada Pihak Bank, dari akad ini akan diketahui, antara lain :
* Hak dan kewajiban masing-masing pihak;
* Objek Jaminan (tentunya tanah dan bangunan yang menjadi Objek KPR atas nama Ibu T)
* Adanya pembuatan SKMHT dan APHT atas objek jaminan
4. Klarifikasi kepada developer tentang pernyataan dalam brosur biaya AJB, Balik Nama Sertifikat, IMB, Listrik Non Subsidi, BPHTB dan PPN (Subsidi), akan lebih baik jika dipersiapkan terlebih dahulu bukti brosur dan saksi yang mengetahui hal pernyataan dalam brosur tersebut.
Apabila mengacu pada pasal 9 ayat (1) butir (a) UU Nomor 20 tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, seharusnya Akta Jual Beli sudah dibuat dan ditanda tangani oleh Ibu T dan Developer di hadapan PPAT/Notaris dan tentunya BPHTB sudah disetorkan ke kas negara, jika ternyata BPHTB tidak dibayarkan oleh Developer sebagaimana dijanjikan dalam Brosur/PPJB tetapi justru pembayaran BPHTB dibebankan kepada Ibu T, maka secara hukum developer telah melakukan:
1. Wanprestasi/ingkar janji, Jika janji berupa pembebasan biaya/pernyataan pembebasan biaya-biaya yang ada dituangkan dalam PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), atas tindakan developer "tidak melaksanakan apa yang disanggupi atau dijanjikan" maka dapat diajukan gugatan dengan meminta pergantian biaya, rugi dan bunga, hal mana sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata disebutkan: "penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhiya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Atau ;
2. Perbuatan Melawan Hukum, Jika developer pada saat melakukan pemasaran menggunakan sarana 'brosur", dimana dalam brosur tersebut dinyatakan harga sudah termasuk biaya antara lain : biaya AJB, Balik Nama Sertifikat, IMB, Listrik Non Subsidi, BPHTB dan PPN (Subsidi), senyatanya developer tidak mau membayarkan BPHTB dan justru membebankan kepada konsumen/Ibu T untuk membayarnya, tindakan developer yang membebankan biaya BPHTB kepada konsumen padahal sudah dinyatakan dalam brosur adalah tanggung jawab developer merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Tentang Perbuatan Melawan Hukum ini diatur dalam Pasal1365 KUHPerdata yang berbunyi : " tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".
3. Pelanggaran atas Pasal 8 ayat 1 huruf (f) Juncto Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
Selanjutnya pihak Bank pemberi KPR sebelum memberikan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) harus menerapkan prinsip kehati-hatian dengan terlebih dahulu memastikan objek jaminan kepada developer, jika ternyata jaminan masih dalam proses pemecahan maka harus ada pernyataan dari developer untuk segera menyerahkan sertipikat hasil pemecahan kepada Bank jika Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menerbitkan sertipikat pemecahannya. Bank harus proaktif untuk menanyakan kepada developer terkait dengan perkembangan pemecahan sertifikat di BPN, hal ini terkait dengan pengikatan jaminan dengan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dimana dalam waktu 1 (satu) bulan harus ditingkatkan menjadi APHT (Akta Pembenanan Hak Tanggungan) untuk tanah terdaftar dan 3 (tiga) bulan untuk tanah belum terdaftar.
Jika debitur/konsumen merasa dirugikan atas sikap diamnya Bank berkaitan dengan jaminan yang belum diserahkan oleh pihak developer, maka berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Debitur/Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013.
Jika Bank terbukti melakukan pelanggaran atas jaminan yang ternyata belum diserahkan oleh developer kepada pihak Bank dengan dalih Debitu/Konsumen belum melakukan pembayaran BPHTB maka OJK bisa memberikan Sanksi Administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 yang berbunyi :
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha; dan
e. Pencabutan izin kegiatan usaha.
Dari penjelasan sebagaimana diuraikan di atas maka Ibu T dapat menempuh langkah hukum antara lain :
1.1 LANGKAH HUKUM KEPADA PIHAK DEVELOPER
1. MENGIRIMKAN SOMASI
Sebagaimana uraian kronologi yang disampaikan, ternyata Sertipikat atas tanah milik Ibu T tidak ada di Bank dan ternyata Pihak Developer menyampaikan Ibu T harus membayar BPHTB terlebih dahulu kepada notaris padahal dalam pernyataan di Brosur pihak developer menyampaikan Harga sudah termasuk biaya AJB, Balik Nama Sertifikat, IMB, Listrik Non Subsidi, BPHTB dan PPN (Subsidi), atas sikap developer yang demikian maka Ibu T dapat mengirimkan somasi/surat teguran kepada Developer terkait dengan pertanggung jawaban developer sesuai dengan kesanggupan/pernyataan dalam PPJB atau brosur untuk melakukan pembayaran BPHTB dan kewajiban developer untuk segera menyerahkan Sertipikat hasil pemecahan kepada pihak Bank Pemberi KPR.
2. GUGATAN PERDATA
Jika terhadap somasi yang saudara kirimkan tidak mendapatkan respon yang baik dari Pihak Developer, maka saudara dapat mengajukan gugatan kepada pihak developer atas dasar :
-GUGATAN WANPRESTASI, jika pernyataan pembebasan biaya BPHTB disampaikan oleh developer dalam PPJB; ATAU
-GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM, jika pernyataan pembebasan biaya BPHTB disampaikan oleh developer dalam "brosur" yang digunakan oleh developer untuk sarana pemasaran dan meyakinkan calon konsumen.
3. PENYELESAIAN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
Langkah hukum alternatif selain gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap Developer adalah Penyelesaian sengketa melalui BPSK, hal ini sebagaimana diatur dalam Bab XI Pasal 49 sampai dengan 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, dimana Ibu T bisa mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui BPSK mengenai tindakan developer yang tidak sesuai janji mengenai pembayaran BPHTB, permohonan bisa diajukan secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.
Sebelum mengajukan permohonan penyelesaian kepada BPSK, berdasarkan pasal 52 butir (b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Ibu T dapat melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada BPSK di kota/kabupaten setempat.
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;UU Perlindungan Konsumen |
4. LAPORAN PIDANA
Disamping mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui BPSK, Ibu T juga bisa melaporkan developer kepada kepolisian setempat dengan sangkaan melanggar pasal:
1. Pasal 8 ayat 1 huruf (f) Juncto Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen, yang berbunyi :
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
1.2. LANGKAH HUKUM KEPADA PIHAK DEVELOPER
1. LAPOR KE OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA
Berdasarkan Pasal 40 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Ibu sebagai Debitur/Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
2. GUGATAN PERDATA
Jika Ibu T mengambil langkah untuk menggugat Developer karena melakukan Wanprestasi/Perbuatan Melawan Hukum, maka pihak Bank dan Notaris bisa menjadi Tergugat II dan Tergugat III dengan catatan Notaris dan Bank bersama dengan developer melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan tanggung jawab pembayaran BPHTB tersebut, tetapi jika Notaris dan Bank hanya sebagai pihak yang terkait dengan penandatanganan AJB dan Akad Kredit maka mereka bisa dijadikan sebagai Turut Tergugat.
Sebelum menempuh langkah hukum baik perdata, pidana maupun melalui BPSK dan OJK, terlebih dahulu Ibu T harus mempersiapkan alat bukti untuk mendukung dalil-dalil yang disampaikan antara lain :
a. Bukti tertulis berupa :
b. Brosur yang didalamnya berisi tentang pernyataan harga sudah termasuk biaya AJB, Balik Nama Sertifikat, IMB, Listrik Non Subsidi, BPHTB dan PPN (Subsidi);
c. PPJB, AJB (jika pada saat itu sudah dibuat dan ditanda tangani) dan Akad Kredit serta bukti tertulis lainya yang berkaitan dengan proses KPR atas nama Ibu T.
d. Bukti Saksi (yang mendengar, melihat dan mengalami terkait dengan pernyataan developer dalam brosur mengenai harga sudah termasuk Biaya BPHTB).
e. Pendapat Ahli (jika diperlukan).
Saran kami sebelum mengambil langkah hukum sebagaimana diuraikan di atas yang tentunya akan menyita waktu, tenaga, fikiran dan biaya, alangkah baiknya jika Ibu T mencoba sekali lagi untuk berbicara dengan pihak Developer, Notaris dan Bank untuk penyelesaian secara musyawarah mufakat, dalam musyawarah tersebut Ibu T bisa menyampaikan fakta dengan menunjukkan "brosur" yang menjadi titik pangkal masalah. Tetapi jika dengan musyawarah tidak juga menemukan solusi terbaik maka Ibu T dapat menempuh langkah hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Demikian uraian jawaban dari kami, semoga bermanfaat bagi Ibu T, para pembaca detikcom dan masyarakat pada umumnya.
Bekasi, 12 Oktober 2021
Hormat kami,
Slamet Yuono, SH., MH
s_yuono@yahoo.com
SEMBILAN SEMBILAN & REKAN
Advokat dan Konsultan Hukum
Menara 165, 4th Floor
Jl TB Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan
021 50812002 ext 575
Dasar Hukum :
1. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt);
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
6. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021;
8. Peraturan OJK Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
![]() |
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.