Peredaran bebas sianida kembali disorot usai gemparnya kasus takjil maut berujung tewasnya anak seorang pengemudi ojek online di Yogyakarta. Pemerintah diminta untuk mengatur peredaran zat beracun mematikan ini.
Sebagaimana diketahui, polisi menangkap Nani Aprilliani Nurjaman (25) yang diduga sebagai pelaku pengirim takjil beracun sianida yang menewaskan anak driver ojol di Bantul. Nani diduga menggunakan racun kalium sianida (KCN) yang dibeli via online.
Polisi juga mengungkap Nani pernah memiliki hubungan khusus dengan target penerima paket, Tomy. Tomy diketahui merupakan warga Bangunjiwa, Bantul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Barang (kalium sianida) dipesan melalui aplikasi jual beli online dan sudah cukup lama yang membeli, sejak bulan Maret," kata Dirreskrimum Polda DIY Kombes Burkan Rudy Satria, Senin (3/5/2021).
Atas kasus ini, ahli Toksikologi dari Universitas Indonesia, Budiawan, meminta pemerintah memperketat aturan jual-beli racun berbahaya itu.
"Harus ketat itu, karena udah banyak kejadian. Orang masyarakat umum sudah tahu," kata Budiawan kepada wartawan, Senin (3/5/2021).
Budiawan menyebut aturan mengenai jual-beli zat beracun dan berbahaya sudah ditetapkan. Dia menekankan pembeli dari zat itu harus didata dan melampirkan salinan kartu identitas.
"Aturan itu sebenarnya sianida itu bahan beracun dan berbahaya, pertama wajib label bahan kimia, apalagi bahan berbahaya. Artinya labeling itu ada simbol, ada keterangan. Kemudian dalam penjual-belian itu harus terdata, dia harus minimal berikan keterangan harus dengan melampirkan fotokopi, atau difoto KTP-nya, harus begitu," kata dia.
Budiawan mengatakan sianida biasanya digunakan untuk racun ikan sehingga bisa didapatkan dengan mudah di warung atau via online. Dia meminta pemerintah melarang penjualan racun ikan itu.
"Terkait penggunaan ini kan pada umumnya racun ikan, itu untuk racun itu harusnya sekarang nggak boleh. Kan ikan nggak boleh diracun gitu dong, harusnya dipancing. Tegaskan lagi, pemerintah nggak boleh lagi, makanya maksudnya tujuan pembelian itu harus ada penjelasan. Kalau di luar negeri itu, zaman saya dulu paspor saya di-copy, kemudian saya isi formulir," tuturnya.
"Kalau potasium ini serbuk putih seperti gula atau garam. Nah itu yang agak riskan itu penjualan yang biasa di warung-warung di daerah itu. Kembali lagi yang saya katakan itu sudah tak boleh lagi lah, nggak perlu lagi, bukan zaman lagi menangkap itu pakai racun itu," sambungnya.
Budiawan menjelaskan sianida dan sejenisnya juga dijual sebagai racun tikus. Hal itu, kata Budiawan, harus digunakan sesuai fungsinya.
"Dulu sianida atau sejenis itu untuk dijual-belikan untuk racun hama tikus, tapi biasanya diberikan pewarna karbon, jadi hitam dia. Jadi untuk membedakan bahwa itu racun. Kembali lagi itu tak bisa terelakkan penjualan hama tikus itu diizinkan memang ada ketentuannya. Tapi itu kembali lagi, khusus racun tikus dan dikemas khusus," tutur dia.
Budiawan mengatakan sianida biasanya digunakan untuk industri pertambangan. Zat itu sangat berbahaya jika masuk ke tubuh.
"Itu karena kebutuhan industri kok pada umumnya, untuk pertambangan emas. Itu buat industri pertambangan atau industri pewarna," katanya.
Suara Para Legislator
Hal senada juga disampaikan oleh legislator PDIP di Senayan. Dia mendesak agar peredaran sianida segera dibereskan.
"Aturan peredaran sianida harus segera diberesin," kata anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo kepada wartawan, Selasa (4/5/2021).
Menurut Handoyo, peredaran sianida harus jelas siapa pembeli yang menggunakan cairan berbahaya itu. Identitas dan tujuan pembeli sianida harus diketahui.
"Seperti kita ketahui, dalam aturan internasional, peredaran bahan sangat berbahaya seperti sianida harus jelas dan clear siapa yang memberi, termasuk data pembeli. Ini terlihat dari aturan tersebut, seperti identitas pembeli jelas, alamat, maksud dan tujuan, kadar yang dibeli, kandungan yang ingin digunakan," ujar Handoyo.
"Artinya, siapa pun harus membuat konfirmasi atau statement bahan ini digunakan untuk tujuan yang bermanfaat. Itulah aturan di internasional," tambahnya.
Aturan mengenai peredaran sianida, menurut Handoyo, berada di beberapa instansi pemerintah. Hal ini, kata Handoyo, harus diperjelas agar tak saling lempar tanggung jawab.
"Dan menyoal beberapa kali terjadi penyalahgunaan sianida dengan kasus beberapa kali tewasnya korban karena sianida perlu segera membereskan dan yang bertanggung jawab, mengingat aturan soal sianida ada di beberapa instansi sehingga potensi saling lempar tanggung jawab terhadap kasus sering muncul di muka," ucapnya.
Tata kelola penanganan bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti sianida, menurut Handoyo, harus terintegrasi, sehingga peredarannya pun bisa terdeteksi.
"Untuk itu, pemerintah harus bergerak cepat mengambil langkah untuk mengawasi peredaran sianida, secara holistik dan terhindarkan dari saling lempar tanggung jawab. Sehingga potensi zat berbahaya nan mematikan agar sianida tidak disalahgunakan untuk tindak kejahatan, bisa diminimalkan," imbuhnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mendesak pemerintah mengawasi produksi dan penjualan cairan sianida. Netty menyebut produksi dan penjualan sianida saat ini dilakukan secara bebas.
"Sianida ini termasuk bahan beracun dan berbahaya sehingga peredarannya harus diawasi secara ketat. Tapi faktanya sekarang di lapangan, sianida ini bebas diperjualbelikan. Bahkan di toko-toko online juga dijual dengan harga yang sangat murah," kata Netty kepada wartawan, Selasa (4/5/2021).
Desakan Netty ini berangkat dari kasus takjil beracun di Bantul, Yogyakarta. Pelakunya, Nani Apriliani Nurjaman (25), diketahui mencampurkan sate dengan sianida.
Netty mengingatkan kemudahan akses mendapatkan sianida membuat potensi penyalahgunaan semakin besar. Anggota DPR dari Fraksi PKS itu meminta pemerintah bergerak cepat mengawai produksi dan penjualan sianida.
"Saya mendesak pemerintah untuk mengawasi peredaran sianida. Bahan berbahaya ini sudah banyak memakan korban, bahkan yang terbaru kasus takjil beracun di Bantul," sebut Netty.
"Sebelum-sebelumnya juga kita dihebohkan dengan kasus kopi sianida. Pemerintah harus bekerja dengan cepat, karena besarnya potensi kerusakan yang disebabkan," imbuhnya.