Vaksin Nusantara Dinilai Belum Layak
Menurut Kepala BPOM Penny K Lukito ada sejumlah catatan termasuk kejadian tidak diinginkan (KTD) selama proses uji vaksin Nusantara berlangsung. Dalam hearing atau diskusi bersama para peneliti vaksin Nusantara 16 maret 2021 lalu, terungkap jumlah KTD dalam uji Fase I mencapai 71,4 persen dari total relawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juru bicara vaksinasi COVID-19 BPOM Lucia Rizka Andalusia menjelaskan konsekuensinya. "Konsekuensinya kalau sebagai penelitian saja tidak apa-apa, asal tidak menjadi produk yang akan dimintakan izin edar," kata Rizka sembari menegaskan belum ada izin untuk uji fase II vaksin Nusantara, dikutip dari CNNIndonesia, Rabu (14/4/2021).
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan bahwa vaksin Nusantara tak diawali dengan transparansi. Padahal, vaksin untuk strategi pandemi harus didukung teknologi riset yang jelas.
"Harusnya diawali dengan transparansi. Kalau di dunia ilmiah bahwa ini punya potensi ke depan, ini diakui. Tapi kalau kita bicara strategi pandemi, strategi pandemi ini harus memilih intervensi atau teknologi riset yang jelas memberikan dampak," kata Dicky saat dihubungi, Rabu (14/4/2021).
Dia menuturkan bahwa teknologi vaksin Nusantara masih dalam kajian panjang. Studi praklinis vaksin ini masih terus dilakukan.
"Kalau bicara vaksin Nusantara, teknologinya saja masih dalam kajian yang panjang ya. Studi-studi praklinis ini masih dilakukan," ungkapnya.
Dia menegaskan bahwa vaksin Nusantara ini berbahaya. Sebab, risetnya tidak berpedoman pada kaidah ilmiah.
"Ini berbahaya ketika ada satu riset yang merujuk atau tidak berpedoman pada satu kaidah ilmiah. Jadi namanya bukan riset. Dan itu tidak bisa menjamin keamanan," ungkapnya.
"Jangan dianggap pada tahapan itu tidak ada kerawanan infeksi," imbuhnya.
(aik/lir)