Ibu korban tragedi Semanggi I-II, Sumarsih, mengaku kecewa terkait putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang memenangkan gugatan banding Jaksa Agung yang sebelumnya dihukum melawan hukum oleh PTUN Jakarta. Sumarsih meyakini ada kebohongan dalam pernyataan Jaksa Agung yang terungkap dalam sidang PTUN Jakarta.
"Di dalam persidangan di PTUN Jakarta saya mengikuti seluruh persidangannya dan saya mendengarkan langsung kebohongan Kejaksaan Agung melalui saksi fakta yang dihadirkan oleh tim hukum Jaksa Agung," kata Sumarsih, dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube KontraS, Rabu (10/3/2021).
Sumarsih kecewa dengan putusan hakim PTTUN Jakarta yang memenangkan banding kubu Jaksa Agung. Dia mengaku gugatan tersebut dilakukan karena kasus pelanggaran HAM peristiwa Semanggi I dan II tidak kunjung diproses ke penyidikan, Sumarsih menyoroti Jaksa Agung belum melaksanakan tugasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagi saya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta ini telah menutup pintu kebenaran yang sudah terbuka di Pengadilan TUN Jakarta. Kemudian juga tidak peka terhadap roh gugatan yang kami lakukan dimana gugatan kami lakukan karena Jaksa Agung tidak mau menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya," ujar Sumarsih.
Selanjutnya, Sumarsih bercerita terkait 'kebohongan lain' yang disampaikan saksi fakta dalam persidangan gugatan di PTUN Jakarta. Sumarsih menyebut dalam sidang itu, salah satu saksi fakta mengatakan pernah ada pengadilan untuk kasus Semanggi I dan II, akan tetapi ia menyebut nyatanya pengadilan itu tidak pernah ada.
"Di dalam persidangan itu ada kebohongan yang disampaikan oleh saksi fakta yang mengatakan bahwa telah ada pengadilan Semanggi I dan II dan Trisakti. Oleh karena itu dulu pernah mengatakan bahwa kasus Semanggi I dan II itu Jaksa Agung dulu pernah menyatakan bahwa kasus Semanggi I dan II itu telah terjadi nebis in idem," ujar Sumarsih.
"Padahal pengadilan Semanggi I dan II dan Trisakti itu tidak pernah ada, kalau pun ada pengadilan militer, tapi untuk Semanggi I belum disentuh oleh pengadilan apapun, dan memang kami memperjuangkan agar kasus ini dibawa ke pengadilan HAM ad hoc supaya bisa menjangkau dalang pelakunya," imbuhnya.
Selain itu, Sumarsih juga menyampaikan fakta hukum dalam persidangan gugatannya di PTUN Jakarta. Sumarsih mengatakan saat itu, tim hukum Jaksa Agung menyampaikan pernyataan Jaksa Agung dalam Raker Komisi III DPR adalah spontan, akan tetapi hal itu bertolak belakang dari kesaksian saksi fakta yang menyatakan pernyataan tersebut telah disiapkan stafnya.
"Kemudian tim hukum Jaksa Agung menyatakan bahwa pernyataan Jaksa Agung di dalam rapat kerja dengan Komisi III pada tanggal 16 Januari itu adalah jawaban spontannya, tetapi saksi fakta menyatakan pernyataan Jaksa Agung itu telah dipersiapkan oleh stafnya sebagai bahan Raker Jaksa Agung bersama Komisi III DPR. Kebohongan lain juga ada," ujarnya.
"Jadi memang kalau menurut saya Jaksa Agung memang mempunyai niat ya untuk tidak mau menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aktor kunci penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I dan II," sambungnya.
KontraS Soroti Putusan PTTUN
Sementara itu, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, yang juga sebagai anggota kuasa hukum Sumarsih, Tioria Pretty menyoroti putusan PTTUN Jakarta yang memenangkan Jaksa Agung. Wanita yang akrab disapa Pretty itu menilai putusan PTTUN Jakarta merupakan langkah mundur.
"Keluarga korban Semanggi bersama dengan Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II sangat kecewa atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang menyatakan gugatan Para Terbanding/Para Penggugat tidak dapat diterima karena dianggap tidak melalui upaya Banding Administratif terlebih dahulu. Kami menganggap putusan ini merupakan langkah mundur dari keadilan yang sempat diberikan PTUN Jakarta," ujar Pretty, dalam keterangannya.
Lebih lanjut, KontraS menilai PTTUN gagal memberi keadilan bagi keluarga korban karena mempertimbangkan terkait aspek prosedur formil administrasi. Diketahui dalam pertimbangan putusan PTTUN Jakarta, hakim menilai pemohon belum atau tidak melakukan banding administratif sehingga gugatannya tidak diterima.
Namun, Pretty menilai sebenarnya pemohon, yaitu Sumarsih telah mengirimkan surat sebagai salah satu Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) sehingga tidak memerlukan surat kuasa untuk tersendiri untuk mengajukan keberatannya atas tindakan dan jawaban Jaksa Agung terkait penanganan kasus Semanggi I.
Selain itu, tidak ada satu perundangan pun yang menjelaskan apakah Banding Administratif harus spesifik dalam satu keberatan atau bersamaan dengan keberatan masalah yang lain dalam konteks yang sama yakni pelanggaran HAM, sehingga Surat-surat Kamisan yang dikirimkan Ibu Sumarsih harusnya sah sebagai surat Banding Administratif.
"PTTUN gagal melihat dan memberi keadilan substantif bagi keluarga korban dengan hanya mementingkan prosedur formil. Kami melihat Majelis Hakim PTUN lebih maju dalam memberi keadilan substantif dibandingkan pengadilan setingkat di atasnya, karena PTUN tidak hanya memperhatikan prosedur formil semata," ujar Pretty.
Pretty menambahkan gugatan tersebut dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap praktek impunitas. Oleh karenanya KontraS mendesak agar Jaksa Agung mengaktifkan Satgas Penuntasan Pelanggaran HAM berat dan menindaklanjuti kasus Semanggi I dan II ke tahap penyidikan.
"Kami mendesak agar Presiden untuk menepati janji untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Kami mendesak agar presiden untuk memastikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu," sambungnya.
Soal Ada Kebohongan Jaksa Agung di Putusan PTUN Jakarta
Sebelumnya, perihal ada kebohongan Jaksa Agung terkait kasus Semanggi I dan II diungkap dalam putusan Putusan PTUN Jakarta. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin divonis Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan itu terkait 'pernyataan' Jaksa Agung di DPR soal status pelanggaran HAM di peristiwa Semanggi I dan II.
Hal itu terungkap dalam putusan PTUN Jakarta yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (5/11/2020). Kasus bermula saat Jaksa Agung menyatakan dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung RI pada 16 Januari 2020:
... Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Tindakan Tergugat sebagaimana yang dimaksud objek sengketa adalah tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya atau setidak-tidaknya Tergugat tidak menguraikan proses penyelidikan secara lengkap, tindakan Tergugat demikian cenderung mengabaikan/menyembunyikan fakta mengenai kewajiban yang masih diemban institusi Kejaksaan selaku penyidik yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum," ujar majelis PTUN Jakarta.
Menurut PTUN Jakarta, pada faktanya proses penyelidikan masih berlangsung dan tidak terpengaruh terhadap objek sengketa, tetapi dapat mempengaruhi citra Kejaksaan itu sendiri sebagai lembaga yang tidak transparan.
"Karena apa yang dilaporkan bertentangan dengan kewajiban yang masih melekat kepadanya, laporan tersebut menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM berat ke depan karena pernyataan tersebut tercatat dalam risalah sidang DPR RI sebagai dokumen negara yang berpotensi dijadikan dasar atau pedoman bagi Tergugat untuk menyikapi permasalahan TSS (Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, red) ke depan sebagaimana Tergugat mengutip hasil Rapat Paripurna DPR RI tanggal 9 Juli 2001," ujar majelis yang diketuai Andi M Ali Rahman.
"Tindakan Tergugat demikian selain mengandung kebohongan (bedrog) juga melanggar asas kecermatan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam Putusan MK No. 18/PUU- V/2008 tanggal 21 Februari 2008," sambung majelis yang beranggotakan Umar Dani dan Syafaat.
PTUN Jakarta memahami kendala proses penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang melibatkan dua institusi. Dan berkaca pada kegagalan dalam mengungkap pelanggaran HAM masa lalu pada case yang lain.
"Sehingga dalam penanganan TSS ini Kejaksaan lebih serius dan teliti terhadap syarat formil dan syarat materiil yang harus dipenuhi dalam tahap penyelidikan untuk meningkatkan ke status penyidikan sehingga dalam proses itu di beberapa aspek menemui kendala. Terkait kendala tersebut Pengadilan tidak akan menguraikan lebih jauh karena di luar aspek hukum administrasi sehingga tidak menjadi dasar pertimbangan hukum ini," beber majelis.
Jaksa Agung merasa putusan tersebut tidak tepat sehingga mengajukan banding. Kemudian banding tersebut diamini PTTUN Jakarta dengan memenangkan gugatan banding yang diajukan jaksa agung.
Diketahui, Jaksa Agung ST Burhanuddin memenangkan banding terkait pernyataannya yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta membatalkan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan Jaksa Agung melawan hukum terkait pernyataannya yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II pada rapat paripurna DPR bukanlah pelanggaran HAM berat.
"Mengadili menerima secara formal permohonan banding dari pembanding/tergugat; Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT tanggal 4 November 2020 yang dimohonkan banding," ujar ketua majelis hakim Sulistyo, dikutip dari putusan PTTUN Jakarta, Rabu (10/3/2021).