Pemerintah dituntut untuk memperhatikan masalah emisi gas buang yang mengakibatkan perubahan iklim. Akibat dari pelepasan emisi adalah bencana alam banjir, kekeringan, kebakaran hutan, kesehatan masyarakat, hingga ekonomi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berbicara di Konferensi Tingkat Tinggi Climate Adaptation Summit (KTT CAS) 2021 yang berlangsung secara virtual, 25 Januari 2021 lalu. Namun, mahasiswa Trisakti menilai kontribusi Indonesia terhadap perubahan iklim (nationally determined contribution/NDC) Indonesia masih minim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"NDC Indonesia masih jauh dari kata ambisius. Target pengurangan emisi karbon yang diterapkan sangat tidak cukup untuk mencegah kenaikan temperature global," kata Kepresma Trisakti.
Indonesia telah meneken Paris Climate Agreement pada 22 April 2016 dan diratifikasi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2016. Paris Climate Agreement menyetujui upaya bersama untuk menekan kenaikan temperatur 1,5 derajat Celcius saja.
![]() |
Di sisi lain, Kepresma Trisakti juga mengkritik UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang dinilainya menomorduakan perlindungan lingkungan. Indonesia pun sampai sekarang masih bergantung pada bahan bakar fosil, terutama batu bara.
"Secara umum, sektor kehutanan, energi, dan pertanian menunjukkan adanya kemajuan dalam menyiapkan pengaturan dan kebijakan untuk mencapai target NDC, tetapi inkonsistensi juga ditemukan dalam penyiapan pengaturan dan kebijakan ini," kata Kepresma Trisakti.
Sektor kehutanan disebut Kepresma Trisakti berkontribusi terhadap penurunan emisi sebesar 17,2%, asalkan deforestasi bisa ditekan, pembalakan liar diberantas, pertumbuhan tanaman ditingkatkan lajunya, serta restorasi gambut dan rehabilitasi lahan tidak produktif.
Kepresma Trisakti juga menyoroti penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit (moratorium sawit) lewat Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018. Moratorium sawit itu berakhir tahun 2020. Mereka belum melihat kejelasan, apakah moratorium sawit akan diperpanjang atau tidak.
(dnu/aik)