Lebih lanjut, Arteria juga menganalogikan kasus korupsi bansos yang menimpa Julari Batubara seperti yang diungkit Wamenkumham Edward Omar. Dia berpendapat kasus yang menimpa Juliari lebih kepada permainan kualitas sembako sehingga jumlah yang diberikan ke masyarakat tetap sama.
"Misalnya begini, pada saat itu ada sembako seribu, rakyat kelaparan, dibagiin cuma 100 atau cuma 500 sehingga rakyatnya yang yang kelaparan tidak bisa menerima makanan itu bisa hukum mati. Sekarang kan sembakonya jumlahnya sama cuma kualitasnya yang kurang, harus dicermati makanya kita juga jangan terlalu prematur memberikan statement, apa lagi statement dalam bentuk vonis," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian Arteria juga berbicara terkait perspektif penghukuman. Dia mengambil contoh selama ini hukuman mati yang diterapkan kepada pelaku narkoba juga tidak efektif.
"Apakah hukuman mati menjadi solusi? Tidak, saya katakan narkoba aja berapa banyak yang dihukum mati? Itu habis divonis mati juga nggak dibuat mati, orang pada PK, PK lagi, PK lagi. PK berkali-kali, menjadi polemik. Kita ini memberikan sanksi bagian daripada mekanisme pembinaan kepada warga binaan bukan penghukuman atau membuat dia mati, gitu. Kita minta perspektif penghukuman juga harus ini, apa lagi beliau adalah wakil menteri kum HAM," ungkapnya.
Seperti diketahui, Edward Omar Sharif Hiariej sempat menilai Edhy Prabowo dan Juliari Batubara layak dituntut hukuman mati. Sebab, kedua mantan menteri itu melakukan korupsi di saat pandemi COVID-19.
"Kedua kasus korupsi yang terjadi pada era pandemi, seperti misalnya kita ketahui bersama misalnya bahwa dua mantan menteri terkena OTT KPK pada akhir tahun 2020. Yang satu pada bulan akhir November, yang satu pada 4 Desember. Bagi saya, kedua mantan menteri ini melakukan perbuatan korupsi yang kemudian kena OTT KPK, bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ujar Omar, Selasa (16/2).
(maa/aud)