Pulau Lantigiang di kawasan Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, dijual seharga Rp 900 juta. Kasus jual beli kawasan konservasi itu terus diusut polisi.
Kepala Balai Taman Nasional Taka Bonerate Faat Rudianto awalnya membenarkan bahwa pihaknya yang melaporkan dugaan penjualan Pulau Lantigiang ke polisi.
"Dijual ke pihak ketiga yang katanya orang di sana juga yang mengembangkan sarana wisata. Kalau transaksi itu kan tidak ada jual-beli pulau yang ada jual-beli tanah, tapi tanahnya lebih luas dari pulau. Pulaunya lah yang dijual karena ditransaksi tidak ada jual-beli pulau selalu kan jual-beli tanah," kata dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pulau Lantigiang Selayar diketahui masuk wilayah Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Pulau ini tidak berpenghuni dan berjarak 15 menit dari Pulau Jinato. Salah satu yang menarik di pulau ini adalah banyaknya penyu yang sedang bertelur sana.
Menindaklanjuti kasus ini, Polda Sulsel telah membentuk tim untuk mengusutnya.
Berikut 7 fakta teranyar heboh jual-Beli Pulau Lantigiang Selayar:
Selain Warisan, Penjual Klaim Pulau Lantigiang karena Tanam Pohon Kelapa
Syamsul Alam mengklaim memiliki Pulau Lantigiang Selayar karena pulau tersebut merupakan warisan nenek moyang, meski tidak memiliki dokumen kepemilikan. Tak hanya itu, Syamsul mengklaim memiliki Pulau Lantigiang Selayar karena menanam pohon kelapa.
"(Dasar klaim Syamsul Alam) Katanya warisan dari neneknya. (Dokumen) Tidak ada, kan tanah di sini tidak ada surat. Klaim saja," ujar Kasat Reskrim Polres Panakkukang Iptu Syaifuddin kepada detikcom, Selasa (2/2/2021).
Selain warisan nenek moyang, Syamsul Alam juga mengklaim lahan di Pulau Lantigiang dengan dasar telah menanam pohon kelapa di sana.
"Iya (dasar tanam pohon kelapa), pohon kelapa saja itu 2019 baru ada, baru 9 bulanan," kata Syaifuddin.
Atas fakta tersebut, Syaifuddin menyebut Syamsul Alam diduga hanya asal klaim karena tidak punya dasar yang kuat.
"Berbohong dia bahwa ini dia katakan bahwa ini tanahnya. Hanya mengaku-mengaku saja tidak ada surat, harusnya kan minimal PBB-nya, pajak, nggak ada pajak," katanya.
Atas fakta tersebut, penyidik Polres Selayar akan menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap Syamsul Alam dan keponakannya bernama Kasman. Selain itu, polisi juga akan memintai keterangan terhadap wanita Asdianti sebagai pembeli.
Kapolda Sulsel Kirim Tim Usut Jual Beli Pulau Lantigiang
Kapolda Sulawesi Selatan (Sulsel) Irjen Merdisyam mengirim tim dari Direktorat Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Sulsel untuk mengusut kasus jual beli Pulau Lantigiang, Selayar.
Merdisyam menegaskan, Pulau Lantigiang tidak bisa diperjualbelikan karena masuk kawasan konservasi.
"Ditkrimum sudah menurunkan anggotanya untuk melakukan pemeriksaan," kata Irjen Merdisyam ditemui di Mako Brimob Jalan Sultan Alauddin, Selasa (2/2/2021).
Tim dari Polda Sulsel saat ini tengah berkoordinasi dengan Pemda Selayar terkait kasus jual beli pulau tersebut.
Menurutnya, kawasan konservasi seperti Pulau Lantigiang tidak bisa dimiliki seseorang.
Dia juga menyebut Polres Selayar telah memeriksa 7 orang saksi terkait jual beli Pulau Lantigiang. Polisi memeriksa Kepala Desa hingga Kepala Balai Taman Nasional Takabonerate.
7 Saksi Jual Beli Pulau Lantigiang Diperiksa
Polisi memeriksa 7 saksi dalam kasus jual beli Pulau Lantigiang, Selayar.
"Sejauh ini ya kita baru mendalami ya dalam rangka pemeriksaan awal terhadap 7 orang saksi yang hari ini sedang didalami oleh Polres Selayar," kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan ketika ditemui di Pasar Terong Makassar, Senin (1/2/2021).
Zulpan mengatakan pihaknya profesional dalam kasus jual-beli tersebut. Ia dengan tegas akan memproses siapa saja nantinya terlibat dalam kasus tersebut.
Polisi menyebut jika Pulau tersebut merupakan taman nasional yang tak boleh diperjualbelikan.
Polisi meminta masyarakat tak khawatir dan tetap mempercayakan profesional kerja polisi. Polisi akan menjaga pulau-pulau di Sulsel agar tak diklaim oleh orang tertentu.
Ini Surat Keterangan Diduga Tanda Jual Beli Pulau Lantigiang
Ijab-kabul jual-beli Pulau Lantigiang Selayar diduga hanya ditandai lewat secarik kertas.
Berdasarkan surat pembelian Pulau Lantigiang yang didapatkan pada Senin (1/2/2021), surat ini dibuat pada 29 Mei 2019. Dalam surat itu, tertera nama penjual pulau itu Syamsul Alam dan Asdianti selaku pembeli. Syamsul Alam beralamat di Desa Jintao.
Surat penjualan Pulau Lantigiang ini ditandatangani di atas meterai Rp 6.000. Adapun saksi yang menyaksikan penjualan ini adalah Kepala Dusun Jinato, Arsyad, keluarga penjual Tundeng Dg Sibali, Matakko, dan Jaenuddin. Juga ada tokoh masyarakat Samsuddin. Selain itu, Kepala Desa Jinato, Abdullah, turut menandatangani pembelian pulau ini.
Di dalam surat ini, Pulau Lantigiang dijual seharga Rp 900 juta. Di surat ini disebutkan pihak kedua selalu pembeli berhak memiliki tanah kebun tersebut bersama segala hal yang ada di dalamnya.
"Jadi ini seakan-akan menganggap mereka punya orang tua pernah melakukan aktivitas di situ, sehingga 2015 itu oleh kepala desa di sana menyetujui persetujuan ahli waris yang menganggap dirinya pernah mengelola. Ini kan pulau kosong tidak berpenghuni," kata Bupati Selayar, Basli Ali, saat dimintai konfirmasi.
Dia juga menyebutkan pemilik sempat hendak mengurus legalitas pembelian pulau itu ke Badan Pertanahan Negara (BPN) Selayar. Namun hal itu tidak diloloskan karena pulau itu milik negara.
Penjelasan Pembeli soal Jual Beli Pulau Lantigiang
Wanita pengusaha asal Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Asdianti menjelaskan duduk perkara kasus jual beli Pulau Lantigiang.
Asdianti yang membantah membeli Pulau Lantigiang menegaskan hanya meminta hak pengelola lahan untuk membangun resort.
Jauh sebelum bertemu dengan Syamsul Alam yang mengklaim memiliki lahan di Pulau Lantigiang, Asdianti mengaku lebih dulu berkonsultasi dengan Balai Taman Nasional Takabonerate pada tahun 2017. Sebab, untuk mengelola Pulau Lantigiang di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate Asdianti harus memiliki rekomendasi dan izin dari mereka.
"(Saya bilang) Kasih saya pulau atau tempat, lahan yang mana yang bisa bangun resort ditunjukkan lah beberapa tempat-tempat pulau yang bisa saya bangun resort termasuk di Latu Besar, Rantia, Pulau Belang-belang dan lain-lain," kata Asdianti saat berbincang dengan detikcom, Senin (1/2/2021).
Asdianti bersama suaminya yang berkebangsaan Jerman pada awalnya memilih Pulau Latondu Besar untuk dikelola dengan alasan kawasan berpenghuni. Alhasil, Asdianti membeli lahan 1 hektare di Pulau Latondu Besar.
Namun, upaya Asdianti belakangan gagal karena tak mendapat restu dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menolak menerbitkan surat hak milik (SHM).
"Saya beli lah tanah 1 hektare di Latondu Besar, setelah itu saya meminta izin untuk bikin sertifikat di BPN. Ternyata ditolak penerbitan dengan adanya keputusan-keputusan itu," katanya.
Keputusan yang dimaksud ialah Asdianti tidak dibenarkan membeli lahan di pulau karena termasuk dalam kawasan Balai Taman Nasional Takabonerate karena hanya bisa dikelola. Asdianti mengaku legawa.
Karena penolakan dari BPN, Asdianti mengaku akhirnya kembali berkonsultasi dengan pihak Balai Taman Nasional Takabonerate. Dia lalu kembali mengajukan diri untuk mengelola lahan, kali ini Asdianti memilih lahan di Pulau Lantigiang.
Hanya, kata Asdianti, upayanya tersebut tak lagi mendapat respons dari pihak Balai Taman Nasional Takabonerate. Alhasil, Asdianti menggugat Balai Taman Nasional Takabonerate ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.
"(Hingga) Juni 2020 ternyata tidak ada jawaban dari pihak balai. Akhirnya saya lapor ke PTUN Makassar, sidang 6 kali dikabulkan lah permohonan saya, akhirnya tembus pertimbangan teknis untuk penerbitan sertifikat pengelolaan yang saya minta seusai permohonan saya kan," jelas Asdianti.
Setelah permohonan untuk mengelola lahan di Pulau Lantigiang dikabulkan, belakangan Asdianti mengaku mengetahui bila lahan yang kelak akan dia kelola untuk dibangun resort tersebut ternyata lebih dulu dikelola oleh Syamsul Alam. Dan Syamsul Alam atau nenek moyangnya bahkan disebut mengelola lahan di Pulau Lantigiang sejak tahun 1942.
Karena fakta tersebut, Asdianti mengaku menemui Syamsul Alam. Asdianti mengaku tidak dapat segera mengelola lahan tersebut, sebab masih ada Syamsul Alam dan pihak keluarganya yang selama ini mengelola lahan tersebut.
"Jadi misal saya dikasih izin nih dari Balai, tetapi kalau saya tidak selesaikan (dengan pihak Syamsul Alam) nanti saya diparang-parangi, kalau di Selayar itu a jallo-jalo (marah-marah), orang kita hargailah hak warga setempat," kata Asdianti.
Asdianti mengaku memahami lahan di Pulau Lantigiang memang termasuk ke dalam kawasan Balai Taman Nasional Takabonerate. Namun di satu sisi, Asdianti tidak bisa begitu saja mengabaikan hak Syamsul Alam, lelaki yang selama ini mengelola lahan di Pulau Lantigiang.
"Ya kita kan menghargai hak-hak masyarakat. Balai muncul di tahun 1993, Pak Syamsul dan keluarganya itu sudah dari sana berkebun beratus tahun yang lalu ya, dari nenek moyangnya dia," kata Asdianti.
Namun saat ditanya apa dasar hak dari Syamsul Alam sehingga mengaku sebagai pemilik dan pengelola lahan, Asdianti mengaku jawaban itu harus diberikan oleh kuasa hukumnya.
Bupati Selayar Selidiki Munculnya Surat Jual Beli Pulau Lantigiang
Bupati Selayar Basli Ali menyelidiki munculnya surat keterangan jual-beli Pulau Lantigiang.
"Nah inilah yang jadi persoalan karena seakan-akan pemerintah tidak tahu lokasi tersebut milik negara, ini jadi persoalan. Jadi sementara kita minta ke polres dan sudah melakukan penyelidikan apa sih yang sebenarnya tujuan daripada munculnya surat keterangan jual beli," kata Basli Ali saat dimintai konfirmasi, Senin (1/2/2021).
Basli mengatakan telah memanggil Kepala Desa Jintao untuk mengusut dan mencari kebenaran soal rencana penjualan Pulau Lantigiang. Dia juga mengimbau seluruh kepala desa agar tidak menandatangani surat jual-beli pulau yang ada di wilayah Selayar.
Basli mengatakan Pulau Lantigiang berada di kawasan konservasi yang masuk pengelolaan Taman Nasional Taka Bonerate. Basli menegaskan semua pulau di Selayar tidak ada dalam daftar diperjualbelikan.
"Itu kan pengelolaan ada di kementerian jadi tidak bisa diperjualbelikan. Sementara sekarang itu (kasus penjualan) sudah dilidik oleh polres," tegasnya.
Gubernur Sulsel Ungkap Jual Beli Pulau Lantigiang Atas Rekomendasi Kades
Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah menerima laporan bahwa Pulau Lantigiang di kawasan Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, dijual atas rekomendasi kepala desa setempat. Nurdin menegaskan Pulau Lantigiang tidak bisa dijual.
"Ini kan (jual-beli Pulau Lantigiang) masih dalam penyelidikan, karena itu juga menjual hanya dengan rekomendasi kepala desa," ujar Nurdin kepada wartawan di kantor Gubernur Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo, Senin (1/2/2021).
Nurdin menegaskan, Pulau Lantigiang tidak bisa diperjualbelikan meski penjual mengaku warisan nenek moyang. Dia menegaskan, pulau itu hanya bisa dikelola oleh pengelola yang memiliki izin.
Nurdin menyebut pihaknya masih menunggu laporan resmi dari pemerintah daerah setempat terkait kasus jual-beli Pulau Lantigiang. Pemprov Susel akan mengusut jual beli Pulau Lantigiang jika ada laporan resmi.
Sekretaris Desa (Sekdes) Jinato, Selayar, berinisial RS diperiksa polisi terkait akta jual-beli Pulau Lantigiang yang disebut ditekennya pada 2015. Namun RS membantah telah meneken akta jual-beli tersebut.
"Ya dia bantah bahwa dia yang tanda tangan dulu," kata Kasat Reskrim Polres Selayar Iptu Syaifuddin saat dimintai konfirmasi detikcom terkait kasus jual beli Pulau Lantigiang, Senin (1/2/2021).
RS menjalani panggilan penyidik Polres Selayar pada Minggu (31/1). Status RS masih saksi dalam kasus jual-beli Pulau Lantigian.
Menurut Syaifuddin, kesaksian RS yang membantah meneken jual-beli Pulau Lantigiang masih perlu didalami lebih lanjut. Untuk itu, polisi akan memeriksa perempuan berinisial FN, Kepala Desa Jinato periode saat ini.