Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) meluncurkan buku berjudul 'Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi: Refleksi 2020, Outlook 2021'. Buku tersebut menyoroti kondisi demokrasi di Indonesia selama pandemi Corona.
Director for media and democracy LP3ES yang juga salah satu penulis buku, Wijayanto mengatakan buku ini terdiri dari 10 bab dan 240 halaman. Dia mengatakan buku ini menyoroti proses demokrasi sepanjang tahun 2020 dan pandangan di 2021.
"Di bab itu meskipun ada 10 bab, semua chapter itu mendukung satu argumen utama yaitu bahwa berdasarkan riset kita, refleksi kita bagaimana demokrasi berlangsung di tahun 2020 kita menemukan bahwa terjadi situasi kemunduran demokrasi yang di-real-kan di bab pertama," kata Wijayanto melalui siaran YouTube LP3ES, Senin (11/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemunduran demokrasi ini kata Wijayanto bukan tanpa sebab. Dia mengatakan ada tiga yang menyebabkan terjadinya kemunduran demokrasi.
"Menurut refleksi dari berbagai literatur kita memang mengalami kemunduran demokrasi. Nah mengapa dia terjadi? Setidaknya ada tiga faktor yang berkelindan di sana. Pertama adalah faktor struktural semakin terkonsolidasinya oligarki, faktor agensi di mana pemimpin terpilih secara demokratis sudah memunggungi demokrasi, lalu ada faktor kultural di mana publik masih setengah hati mendukung demokrasi, lalu ditambah ada makin melemahnya masyarakat sipil dan bahkan situasi demokrasi kita di bab dua kita jelaskan telah terjadi praktik-praktik otoritarianisme," jelasnya.
"Mungkin sistem ini belum berubah, tapi otoriter, praktik otoriterisme itu telah ada dan itu menjadi penanda dari kemunduran demokrasi yang cukup serius," sambungnya.
Dia mengatakan terjadinya kemunduran demokrasi itu ada 4 faktor. Faktor pertama menjadi penanda kemunduran demokrasi adalah lemahnya oposisi.
"Ada 4 faktor yang menjadi penanda di sana, yaitu semakin lemahnya oposisi, tidak diindahkannya aturan main, pembatasan pembatasan sipil termasuk media, nanti bisa dibukunya lebih jauh," tutur Wijayanto.
Wijayanto mengatakan kemunduran demokrasi itu sudah tampak pada awal tahun 2020. Lalu berlanjut di tengah pandemi.
"Situasi tadi menjadi prakondisi kita menjalani tahun 2020, pada situasi itu pandemi datang, maka respons kita terhadap pandemi adalah refleksi dari keadaan kita secara struktural, yaitu bahwa oligarki jauh lebih kuat daripada masyarakat sipil, lalu kemudian dia menyetir kebijakan-kebijakan kita selama pandemi," jelasnya.
Wijayanto mengatakan, buku ini juga menyoroti kebijakan saat pandemi corona. Dalam buku tersebut, kata Wijayanto dijelaskan bahwa kebijakan new normal menimbulkan protes publik.
"Di bab tiga kita jelaskan ketika pandemi datang, yang diprioritaskan justru ekonomi bukannya warga negara, kenapa? Karena melayani kepentingan oligarki, itu konsisten juga terjadi pada waktu kita mengambil kebijakan new normal. Pada waktu itu pandemi sedang tinggi, siklusnya, grafiknya naik tapi kita berlakukan, padahal kita belum siap, situasinya belum siap. Dan itu menimbulkan protes publik dan kemudian terjadi yang namanya pasukan cyber, bergerak untuk meredam protes itu, protes yang terjadi di media sosial. Hal yang sama terjadi di omnibus law, hal yang sama terjadi di pilkada langsung," tutur dia.
Tak hanya itu, pada buku ini juga memberikan rekomendasi. Salah satunya adalah masukan untuk demokrasi di tahun 2021.
"Di buku ini kita pada akhirnya kita memberikan satu pandangan, lalu bagaimana ke depan, outlook. Kalau melihat situasi yang ada, belum lama ini kita melihat reshuffle kabinet, lalu kita melihat bahwa Sandiaga Uno bahkan bergabung di kekuasaan," jelasnya.
"Kita melihat oligarki semakin menguat, ancaman krisis ekonomi ada di depan mata, kita ingat bahwa situasi resesi ekonomi itu jadi lahan subur munculnya populisme, kasus paling ekstrem adalah Hitler, lalu kemudian masyarakat sipil yang juga belum rekonsolidasi itu membuat kita saya pikir punya alasan yang cukup khawatir bahwa situasinya pada 2021 justru semakin buruk. Namun di buku ini kita menyebutkan bahwa sebenarnya ada harapan, harapannya terletak pada masyarakat sipil, karena setiap kebijakan yang bermasalah selalu muncul protes di media sosial," kata dia.
Baca juga: Pelibatan Militer dalam Penanganan Covid-19 |
Dia mengatakan buku yang menyoroti demokrasi pada tahun 2020 ini mengajak masyarakat untuk berdiskusi. Sehingga publik peduli dengan demokrasi.
"Buku ini adalah ajakan untuk mendiskusikan dan membangun kolaborasi di kalangan masyarakat sipil supaya kita menjadi cukup kuat untuk menjadi penantang oligarki. Kira-kita itu rekomendasinya ke depan," kata dia.
Selain Wijayanto, buku ini juga ditulis oleh Malik Ruslan, Fachru Novrian, Herlambang P Wiratama, Fajar Nursahid, Aisah Putri Budiatri, Ismail Fahmi.
Pendiri Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Didik J Rachbini juga menanggapi buku tersebut. Didik mengatakan tulisan mengenai demokrasi itu bisa berguna untuk masyarakat.
"Mudah-mudahan tulisan ini bisa menkontribusi secara intelektual apa yang ada di masyarakat dari orang-orang yang para semi milenial, ini bagian dari intelektual muda menulis tradisi yang bagus," kata Didik dalam acara peluncuran buku itu.