Catatan LP3ES pada Penanganan Pandemi dan Unjuk Rasa

Catatan LP3ES pada Penanganan Pandemi dan Unjuk Rasa

Tim Detikcom - detikNews
Selasa, 17 Nov 2020 17:16 WIB
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto (Foto: dok. screenshot YouTube)
Jakarta -

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menyoroti terkait penanganan pandemi COVID-19 hingga demonstran yang protes terhadap UU Omnibus Law. LP3ES menyebut tahun ini adalah nestapa bagi demokrasi.

"Jadi kesimpulannya adalah ini adalah tahun nestapa demokrasi. Demokrasi mengalami titik nadir. Elit oligarki mengkonsolidasikan diri, berhenti mendengar, menutup mata hati dan semakin memaksakan kehendaknya. Masyarakat sipil semakin melemah karena ruang ruang publik dimanfaatkan. Negara kehilangan ruhnya sebagai res publica," kata Wijayanto dalam diskusi bertajuk Nasib Demokrasi di masa Pandemi, Selasa (17/11/2020).

Ia mengatakan pada akhir tahun 2019, LP3ES mengeluarkan outlook atau memprediksi demokrasi yang mengalami kemunduran demokrasi. Saat ini prediksi tersebut dinilai benar, salah satunya karena penanganan pandemi COVID-19 yang dinilai keliru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kesimpulannya pada akhir 2019 LP3ES menerbitkan outlook demokrasi yang mengabarkan kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoriterisme," kata Wijayanto.

"Outlook itu juga meramalkan tentang makin suramnya masa depan demokrasi di Indonesia yang sayangnya justru menjadi nyata tak lain karena penanganan pandemi yang keliru," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Ia mencontohkan survei Indikator pada bulan September mengenai situasi kebebasan sipil. Pada survei tersebut responden mengaku takut menyatakan pendapat.

"Ini situasi kebebasan sipil kita, sehingga Indikator pada September kemarin menyampaikan bahwa 47 persen publik kita ternyata agak takut ya, agak setuju bahwa makin takut untuk menyatakan pendapat dan sangat setuju bahwa makin takut menyatakan pendapat. Jadi separuh lebih publik ternyata mereka takut menyatakan pendapat, jadi separuh lebih publik ternyata mereka takut menyatakan pendapat. Itu adalah symptoms tentang penyakit kemunduran demokrasi kita," ujarnya.

Ia menyebut studi LP3ES pada bulan April menyebut ada 37 pernyataan blunder pemerintah soal COVID-19. Awalnya sebelum Corona akan masuk Indonesia, ilmuan dari luar negeri telah mengingatkan, tapi kemudian ada menteri mengatakan 'enjoy saja'. Saat itu sejumlah pejabat juga memberikan statement yang denial terhadap Corona.

Kemudian setelah Corona masuk ke RI dan kurva Corona masih tinggi, justru new normal diberlakukan. Wijayanto menyoroti adanya akun 'robot' di media sosial yang mendukung kebijakan new normal.

"Tak hanya itu dilakukan oleh aktor aktor apakah oleh pemerintah atau non pemerintah karena di Twitter itu banyak akun robot, tapi kepentingannya adalah untuk mendukung new normal itu dikerahkan, ada di kajian kita," imbuhnya.

Ia memaparkan, situasi kemunduran demokrasi itu ditandai oleh konsolidasi oligarki yang diiringi oleh pemberangusan oposisi, pengingkaran terhadap aturan main demokrasi. Serta adanya kekerasan terhadap mahasiswa, aktivis dan wartawan.

"Kemudian situasi ini, jadi situasi demokrasi yang sudah terjadi sebelumnya, situasi oligarki yang telah terjadi sebelumnya itu kemudian menjadi pra kondisi kita menangani pandemi, hasilnya adalah kebijakan-kebijakan yang tidak menempatkan nyawa manusia, nasib warga sebagai panglima, antara lain komunikasi buruk di masa pra krisis saat ilmuan, media, dan tokoh masyarakat sipil mengingatkan bahaya corona masuk ke Indonesia, pemerintah denial dan mengabaikannya," ujarnya.

Selanjutnya saat kurva Corona terus meningkat dan new normal diberlakukan, pemerintah memutuskan melanjutkan Pilkada. Padahal sejumlah masyarakat sipil meminta agar Pilkada ditunda, tetapi diabaikan.

Lebih lanjut, massa yang keberatan dengan UU Omnibus Law direspon dengan represif oleh aparat. Ada pula warga yang diproses pidana terkait hal tersebut.

"Protes omnibus law direspon dengan represi oposisi dan aktivis, kita tahu Purnawirawan Jendral Gatot Nurmantyo awalnya menyampaikan Omnibus Law adalah siluman. Lalu kemudian ternyata anak buahnya beberapa eksponen KAMI mengalami teror dan kemudian kita baca hari-hari beritanya adalah dia mengatakan Omnibus Law bagus untuk memajukan ekonomi, dan dia mendapatkan anugrah Bintang Mahaputra. Jadi itu adalah cara-cara lain untuk membuat oposisi untuk menjadi bagian dari kekuasaan," ujarnya.

Selain itu, dia juga menyoroti kekerasan terhadap jurnalis dan surat edaran dari menteri kepada rektor di kampus yang meminta agar mahasiswa tidak turun ke jalan terkait demonstrasi. Kemudian ada pula pasukan siber di media sosial yang seolah-olah mendukung kebijakan yang buruk.

"Lalu pasukan siber beroperasi di setiap kebijakan yang buruk, kritik yang muncul tidak didengar yang ada justru menggiring opini publik untuk menjadi setuju, memanipulasi seniman publik agar mendukung kebijakan penguasa," ujarnya.

Halaman 2 dari 2
(yld/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads