Pieter Erberveld: Sosok Hero Batavia, Tubuhnya Tercerai Berai Ditarik Kuda

Urban Legend

Pieter Erberveld: Sosok Hero Batavia, Tubuhnya Tercerai Berai Ditarik Kuda

Danu Damarjati - detikNews
Rabu, 30 Des 2020 13:52 WIB
Pieter Erberveld (Danu Damarjati/detikcom)
Ilustrasi. Ukiran nama Pieter Erberveld di prasasti. (Danu Damarjati/detikcom)
Jakarta -

Pieter Erberveld adalah sosok heroik legendaris dari era silam Jakarta. Meski dinilai heroik, hidupnya tragis karena dihukum mati dengan cara ditarik kuda ke empat penjuru. Begini sosok Pieter Erberveld.

William Bradley Horton menuliskan catatannya dalam tulisan berjudul 'Pieter Elberveld: The Modern Adventure of An Eighteenth Century Indonesian Hero', diakses detikcom dari situs Cornell University Library.

Pieter Erberveld adalah nama dari legenda masa lalu, Batavia zaman VOC. Pieter adalah anak dari ayah Jerman dan ibu orang Siam (Thailand) beragama Kristen. Ada pula versi lain menyebut Erberveld punya ibu seorang perempuan Banten beragama Islam. Dikutip dari buku Masatoshi Iguchi (Java Essay), Erberveld adalah anak bungsu dari enam bersaudara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia dikenal karena dihukum oleh VOC (perusahaan Hindia Timur Belanda) gara-gara dituduh merencanakan makar bersama orang-orang pribumi, merencanakan pembantaian terhadap masyarakat Eropa, dan hendak mendirikan negara Islam. Erberveld sendiri, menurut legenda era Hindia-Belanda, adalah orang Kristen yang menjadi Islam.

Kawan seperjuangan Pieter Erberveld adalah Raden Kartadriya, kadang disebut juga sebagai Raden Kertadira, atau Cartadrie. Dilansir ensiklopedi Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, Raden Kartadriya berasal dari Jawa Tengah, merupakan keturunan Sunan Kalijaga Adilangu.

ADVERTISEMENT

Simak video 'Urban Legend: Menara Saidah dan Rumor Gedung Berhantu':

[Gambas:Video 20detik]



Selanjutnya, konspirasi makar hingga dihukum mati dengan ditarik 4 kuda:

Kronologi rencana makar Erberveld x Kartadriya

28 Desember 1721, Raden Kartadriya mengunjungi Erberveld. Saat itu, Erberveld bukan anak muda. Dia adalah pria ompong, rambutnya putih, badannya tinggi besar. Erberveld sedih karena VOC tidak mempekerjakannya lantaran Erberveld dianggap sudah terlalu kaya.

Erberveld dan Kartadriya mendiskusikan rencana membantai orang-orang Eropa, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka mengirimkan surat ke Sultan Banten supaya dibantu dalam aksi itu.

Celakanya, Sultan Banten justru berkirim surat ke Gubernur Jenderal Belanda kala itu. Sultan Banten memberi tahu soal adanya ancaman persekongkolan jahat (konspirasi) yang membahayakan keamanan. Ada salah satu budak yang membocorkan pula rencana Erberveld dan Raden Kartadriya ke pemerintah VOC.

"Tentara-tentara dikirim untuk mengepung rumah Erberveld. Pada larut malam, mereka masuk ke rumah dan mengejutkan Erberveld serta 12 pemimpin lain yang berada di lokasi," tulis William Bradley Horton.

Semua yang tertangkap kemudian dieksekusi dengan cara sadis pada 22 April 1722. Selain 12 pemimpin yang dieksekusi, ada 3 perempuan yang juga dieksekusi mati. Alwi Shahab dalam buku 'Betawi: Queen of the East' menuliskan, ada 24 orang yang dihukum mati.

Hukuman mati dengan ditarik 4 kuda terhadap Francois Ravaillac, 1610. (Public Domain/Franz Hogenberg/Wikimedia Commons)Ilustrasi hukuman mati sejenis seperti yang dialami Pieter Erberveld: Francois Ravaillac ditarik 4 kuda, 1610. (Public Domain/Franz Hogenberg/Wikimedia Commons)

Tangan dan kaki Pieter diikat dengan tali, masing-masing dihubungkan ke seekor kuda yang menghadap empat penjuru. Dengan sekali hentak, keempat kuda itu melesat diikuti terbelahnya tubuh Pieter Erberveld menjadi empat bagian. Lalu, kepala Erberveld dipenggal dan ditancapkan di atas tonggak di gerbang rumahnya.

Metode hukuman mati seperti ini sudah kerap dilakukan di dunia pada saat itu. Metode ngeri seperti ini juga disebut sebagai drawing and quartering (menarik dan membagi empat).

Repro dari lukisan 'Martyrdom of St Hippolyte' karya Dieric Bouts, koleksi St Salvator's Cathedral. (Public Domain via Wikimedia Commons)Ilustrasi hukuman sejenis seperti yang dialami Pieter Erberveld: Repro dari lukisan 'Martyrdom of St Hippolyte' karya Dieric Bouts, koleksi St Salvator's Cathedral. (Public Domain via Wikimedia Commons)

Raden Kartadriya disiksa secara mengerikan. Dikutip dari ensiklopedi Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, Kartadriya digantung pada tiang salib dan dipereteli dengan tang yang panas. Setelah tewas, mayat Kartadriya diikat dan ditarik oleh dua ekor kuda. Makamnya kini berada di Kebon Jukut, Mangga Dua, Jakarta Barat.

William Bradley Horton menilai cerita yang berkembang pada abad ke-19 mengenai peristiwa pemberontakan Pieter Erberveld kadang juga bercampur imajinasi penulisnya. Ada cerita mengenai asmara antara dua budak, cerita soal perselisihan Erberveld dengan kawan Eropa-nya, dan juga cerita soal guru radikal dalam pemberontakan Erberveld bernama Guru Haji Abas.

Selanjutnya, nasib monumen Pieter Erberveld, dihancurkan Jepang:

Nasib monumen

Monumen Peter Erberveld sempat berdiri di lokasi eksekusi matinya, yakni di sekitar lokasi yang saat ini dinamakan Kampung Pecah Kulit, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. Monumen itu dibangun Belanda supaya menjadi peringatan agar tak ada lagi orang yang memberontak.

Wujud monumen itu adalah tembok bercat putih dengan tulisan berbahasa Belanda dan Jawa, bunyinya 'Sebagai kenangan dari pengkhianat Peter Erbervelt, tidak seorang pun kini boleh membangun, membuat, meletakkan batu atau menanam di tempat ini'. Di atas monumen dipasang tengkorak tiruan dari gipsum.

Namun monumen itu dihancurkan oleh Jepang saat menjajah Indonesia pada pertengahan 1942.

Meski begitu, surat kabar Pandji Poestaka sempat menyiarkan catatan soal Erberveld dengan nada hormat, diterbitkan pada momentum peringatan setahun menyerahnya Belanda ke Jepang. Saat itu, Jepang memang membenci Belanda, maka sosok Erberveld bisa 'terangkat' meski monumennya di Pinangsia tetap dihancurkan. Begini kutipan dari Pandji Poestaka:

Melawan Belanda

Kira-kira 200 tahun jang lampau, beberapa poetera Mataram dengan dibantoe oleh seorang Indo-Djerman bernama Pieter Erberveld dengan kawannja Karto Drijo, telah mentjoba meroeboehkan dan mereboet kekoeasaan Belanda di Djakarta. Pertjobaan ini sajang ta berhasil. Pieter Erberveld dengan kawan-kawanja ditangkap, dan dihoekoem mati . Kepala Pieter Erberveld oleh pemerintah Belanda disoela dan ditantjapkan ditembok disoeatoe tempat di Djakarta, oentoek didjadikan lambang nasib mereka jang berani memberontak melawan kekoeasaan Belanda. Sekarang pada zaman peroebahan ini, djasa Pieter Erberveld mendapat penghargaan jang semestinja.

Batu asli dari monumen Pieter Erberveld kemudian ditempatkan di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Kota Tua. Replika monumen dalam bentuk yang persis sama dibangun lagi di Museum Prasasti, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Halaman 2 dari 3
(dnu/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads