Rancangan Udang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol tengah dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sejumlah kepala daerah mengaku khawatir. Kenapa?
Awalnya, RUU Larangan Minuman Beralkohol diusulkan oleh Fraksi PPP, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Gerindra. Pengusul terbanyak adalah dari Fraksi PPP.
Berdasarkan draf RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU itu memasukkan sanksi pidana bagi peminum minuman beralkohol diatur dalam Pasal 20. Bunyinya adalah:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit (3) tiga bulan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling sedikit Rp 10.000.000 (sepuluh juta) dan paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Sementara itu, pasal 7 yang dimaksud dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol berbunyi:
Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4.
Namun larangan ini tidak berlaku untuk sejumlah kepentingan terbatas, termasuk ritual agama. Larangan ini berupa memproduksi, mengedarkan, dan mengonsumsi minuman beralkohol.
Usulan RUU tersebut menuai pro kontra. Sejumlah kepala daerah menolak dan khawatir karena dinilai dapat mematikan ekonomi daerah.
Pemprov NTT: RUU Minol Hancurkan Budaya dan Mematikan Ekonomi
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) menyatakan menolak soal usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol). Sebab, RUU tersebut juga melarang minuman tradisional yang mengandung alkohol.
Diketahui, NTT memiliki minuman khas yang mengandung alkohol, seperti sopi dan moke. Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Marius Ardu Jelamu mengatakan minuman-minuman khas ini berkaitan erat dengan budaya dan ekonomi masyarakat NTT.
"Dan sebetulnya bukan minuman alkohol yang salah, tapi manusia yang memanfaatkan. Karena itu, RUU ini lebih harus bagaimana mengatur tata kelola dan bagaimana masyarakat menggunakannya," kata Marius kepada wartawan, Senin (16/11/2020).
Dia mengatakan ada nilai-nilai budaya yang tak bisa terlepaskan dari kehadiran minuman khas ini. Dia mengatakan minuman khas tradisional ini hadir bukan untuk mabuk-mabukan.
"Bagi masyarakat timur, ini akan menghancurkan budaya kita dan juga mengganggu ekonomi masyarakat. Kita lihat, di NTT, (pohon) lontar, enau ada di mana-mana. Dan itu jadi sumber ekonomi masyarakat. Dan nenek moyang kita mewariskan minuman ini sebagai minuman budaya, bukan untuk mabuk-mabukan," katanya.
"Di dalam acara adat, dibuka dengan minuman ini. Ini simbol dari persahabatan, persaudaraan, simbol persatuan keluarga, dan simbol kegotongroyongan dan kebersamaan. Dan ini akan mengganggu, tak hanya soal budaya, tapi juga ekonomi, supply chain, mengganggu distribusi pemasaran," imbuhnya.
Marius meminta ada riset ilmu pengetahuan yang digelar secara komprehensif terkait usulan larangan minuman beralkohol. Dia juga meminta Badan Legislatif (Baleg) DPR menampung aspirasi secara menyeluruh dari masyarakat Indonesia terkait rencana pembuatan beleid tersebut.
"Karena yang dilakukan ini riset 2007 dan 2014. Dan itu sudah out of date, dan mungkin sampel hanya dilakukan di Jawa dan Sumatera. Sementara mereka tidak menjadikan Indonesia timur sebagai riset. Padahal khususnya di NTT ini jadi komoditas ekonomi, komoditas sosial dan komoditas budaya yang tak mudah begitu saja dihilangkan. Usul dari DPR ini harus mendengar aspirasi dari seluruh masyarakat," kata dia.
Dia pun menanggapi soal ada pengecualian larangan minuman beralkohol bagi kepentingan adat, ritual keagamaan, pariwisata, farmasi, dan tempat yang diatur berdasarkan perundangan. Menurutnya, pengecualian tersebut juga tak menolong sektor ekonomi dari masyarakat NTT yang menjadi produsen dan penjual.
Gubernur Bali Yakin RUU Minol Tidak Akan Disahkan
Gubernur Bali I Wayan Koster menilai RUU Minuman Beralkohol tersebut tak akan disahkan menjadi undang-undang. Koster tidak banyak menanggapi soal RUU tersebut. Menurutnya, RUU yang menuai kontroversi itu masih jauh pembahasannya.
"Masih jauh, masih jauh," kata Koster kepada wartawan, Sabtu (14/11/2020).
Koster pun menilai RUU tersebut tidak akan gol.
"Jangan dulu ngomong, cerita masih panjang, nggak akan jadi itu (RUU Minol)," cetus Koster.
Koster telah melegalkan arak dan brem. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Wagub Bali: Arak Warisan Nenek Moyang
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau Cok Ace menilai RUU ini akan mendapatkan penolakan dari daerah-daerah termasuk Bali.
"Ya itukan masih panjang, saya kira ini belum ada perlawanan-perlawanan, pasti nanti ada daerah-daerah yang tidak setuju termasuk Bali pasti tidak setuju," kata Cok Ace kepada wartawan, Minggu (15/11/2020).
Cok Ace menyebutkan Minol ini merupakan warisan dari nenek moyang di Bali. Dan menurutnya minol di Bali tidak hanya digunakan untuk minum namun juga digunakan untuk upacara adat.
"Karena ini kan mikol, arak ini sudah jauh sebelumnya sudah merupakan warisan daripada nenek moyang orang Bali. Dan digunakan bukan hanya untuk diminum itu kan digunakan upacara-upacara adat jadi mari kita bersama sama kita melihat, belum kan belum dibahas," ujar Cok Ace.
Sementara itu, Cok Ace juga menyoroti banyak kalangan yang protes, mulai dari pengrajin arak hingga sektor pariwisata. Karena alkohol merupakan bagian dari pariwisata.
Bupati Kuningan: Larangan Miras Sudah Diatur dalam Perda
Bupati Kuningan Acep Purnama turut mengomentari RUU Larangan Minuman Beralkohol yang tengah dibahas oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Menurutnya larangan minuman beralkohol harus disesuaikan dengan kodisi masing-masing daerah. Seperti halnya di Kabupaten Kuningan yang telah memiliki peraturan daerah tentang minuman alkohol.
"Wajar kalau suatu daerah bebas alkohol, namun harus diatur siapa yang boleh meminum alkohol, siapa yang boleh menjual dan di mana minuman alkohol itu dijual. Kalau di Kuningan sudah diatur di dalam Perda," kata Acep kepada detikcom Senin (16/11/2020).
Kabupaten Kuningan sendiri telah lama memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Dalam Perda tersebut, minuman beralkohol dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu golongan A dengan kadar alkohol 5 persen, golongan B dengan kadar alkohol 5 sampai 20 persen dan golongan C dengan kadar alkohol 20 sampai 55 persen.
Perda itu juga mengatur di mana minuman alkohol itu dijual. ketiga golongan minuman alkohol itu hanya boleh dijual di hotel berbintang tiga ke atas setelah mendapat izin dari Bupati Kuningan. Dalam Perda itu, siapapun yang melanggar terancam pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta.
Acep juga mengatakan di Kabupaten Kuningan ada beberapa hotel bintang tiga ke atas. Selain itu, Kabupaten Kuningan juga banyak dikunjungi wisatawan baik dari lokal maupun mancanegara.
"Di Kuningan ada hotel berbintang, ada juga wisatawan asing datang yang kadang biasa minum-minuman alkohol. Jadi kita juga tidak diskriminatif, kita jangan terlalu sempit pemikirannya," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan, Kabupaten Kuningan pernah membuat Perda minuman alkohol nol persen.
"Kita pernah buat Perda minol 0 persen, setelah ada yang gugat dan uji materi kita kalah. Artinya harus disesuaikan dengan ketentuan, di mana minuman berkadar alkohol sekian persen boleh dijual," lanjutnya.
Meski begitu Acep dengan tegas menolak minuman beralkohol dijual bebas di Kabupaten Kuningan. Jika ditemukan ada pihak-pihak yang menjual minuman beralkohol di luar ketentuan Perda di atas, pihaknya meminta aparat penegak hukum untuk segera menindak.
PHRI Jabar: Kami Memikirkan Wisata Mancanegara
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawab Barat ikut menanggapi soal rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol. PHRI menyebut adanya RUU ini, akan berpengaruh pada turis asing.
"Kalau kami memikirkan wisata mancanegara. Kalau wisman kan nggak bisa lepas dari begitu," ujar Ketua PHRI Jabar Herman Muchtar kepada detikcom, Senin (16/11/2020).
Secara umum, kata Herman, PHRI bukannya tidak menyetujui adanya RUU tersebut. Namun dia meminta agar RUU bisa diatur agar tidak saling merugikan.
"Bukan tidak setuju asal diatur yang bagus," tuturnya.
Dia mencontohkan seperti di Kota Bandung. Menurutnya di Kota Bandung sejauh ini sudah memiliki aturan yang tertuang dalam peraturan daerah.
"Kalau kita khususnya ini kan tergantung di daerah masing-masing. Di Bandung kan ada ketentuan lewat Perda ada batasan penjualan ada batasan itu sudah bagus. Kalau itu didisiplinkan ditertibkan sudah bagus," kata dia.
Sementara itu, Himpunan Industri Pariwisata Hiburan Indonesia (Hiphi) Bandung menyebut RUU itu perlu dikaji. Seperti PHRI, Hiphi menyebut RUU itu berpengaruh pada turis mancanegara.
"Kalau menurut saya perlu dikaji kembali karena menyangkut wisata internasional artinya ada turis dari negaranya datang ke Bandung perlu minuman itu dan kalau tidak ada di kita ini menjadi salah satu berdampak dan tolong kaji ulang," kata Ketua Hiphi Kota Bandung Barli Iskandar.