KPK Buka Kemungkinan Telusuri 'Biaya Khusus' di Kasus Korupsi PT DI

KPK Buka Kemungkinan Telusuri 'Biaya Khusus' di Kasus Korupsi PT DI

Ibnu Hariyanto - detikNews
Rabu, 04 Nov 2020 15:19 WIB
Logo, ilustrasi, gedung Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK)
Ilustrasi gedung KPK (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Surat dakwaan perkara korupsi di PT Dirgantara Indonesia (PT DI) mengungkap adanya siasat dalam kontrak kerja proyek-proyek yang dikerjakan perusahaan milik negara itu. Jaksa KPK menyebutkan adanya 'biaya khusus' demi PT DI mendapatkan proyek.

Pembacaan surat dakwaan itu sudah dilakukan pada Senin, 2 November, di Pengadilan Tipikor Bandung. Duduk sebagai terdakwa adalah Budi Santoso selaku mantan Direktur Utama PT DI dan Irzal Rinaldi Zailani sebagai Kepala Divisi Penjualan merangkap Asisten Direktur Utama Bidang Hubungan Pemerintah di PT DI.

PT DI bergerak pada industri pesawat terbang yang mengerjakan rancang bangun atau desain pesawat terbang, rekayasa pesawat terbang, pengembangan pesawat terbang, jasa teknik, penyedia sistem senjata, dan jasa MRO atau maintenance, repair, overhaul. Jaksa KPK menyebut konsumen PT DI berasal dari dalam dan luar negeri, yang di antaranya Basarnas, Kementerian Pertahanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kepolisian Udara, Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Puspenerbad), Pusat Penerbangan Angkatan Laut (Puspenerbal), serta Sekretariat Negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dikarenakan adanya kebutuhan dana khusus untuk mendapatkan pesanan dari pihak konsumen dalam negeri, pada 2006 PT DI memiliki Administrative Procedure (AP) nomor 02-DN-001A tanggal 22 Mei 2006 Perihal Penunjukan Mitra Penjualan sebagai dasar untuk dapat menyediakan dana khusus yang diberikan kepada konsumen atau end user yang membeli produk atau jasa dari PT DI," ucap jaksa saat membacakan surat dakwaan itu pada Senin, 2 November 2020.

Jaksa menyebutkan mengenai kebutuhan alokasi dana khusus itu pernah dirapatkan oleh Budi Santoso. Dana khusus itu disebut penting bagi PT DI untuk mendapatkan proyek.

ADVERTISEMENT

"Rapat tersebut membahas tentang salah satunya kebutuhan untuk mengalokasikan dana khusus yang diberikan kepada pihak pemberi kerja agar PT DI tetap mendapatkan pembelian pesawat atau jasa perawatan," imbuh jaksa.

Padahal, menurut jaksa KPK, secara aturan hal itu dilarang. Jaksa merujuk pada Pasal 32 Peraturan BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Praktik Good Corporate Governance pada BUMN.

"Direksi maupun karyawan badan usaha milik negara dilarang memberikan atau menawarkan sesuatu yang berharga kepada pelanggan atau pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan," sebut jaksa.

Pada kenyataannya, Budi Santoso memberikan persetujuan sekaligus memerintahkan agar anggaran untuk dana khusus dimasukkan ke dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) PT DI dengan menggunakan sandi anggaran Unit Kerja Pemasaran sebagai cost structure dalam marketing cost. Setelahnya, Irzal dan Ade Yuyu Wahyuna membuat proposal penawaran dengan dana alokasi khusus sebesar 1-9 persen yang dimasukkan dalam biaya marketing.

Dengan cara itu, Budi Santoso, disebut jaksa KPK, menyetujui penawaran kepada pihak pemberi kerja yang di dalamnya sudah terdapat biaya khusus dalam kurun waktu 2008 hingga 2016. Berikut pekerjaan yang didapat PT DI dengan cara itu:

1. Basarnas ada 2 kontrak senilai Rp 267.202.775.000
2. BPPT ada 1 kontrak senilai Rp 2.787.131.600
3. Kemhan ada 4 kontrak senilai Rp 66.356.429.600
4. Kemhan - Ditjen Pothan ada 2 kontrak senilai Rp 28.983.278.575
5. Kemhan - TNI AD ada 3 kontrak senilai USD 234.979.760 dan EUR 74.318.743,28
6. Kemhan - TNI AL ada 4 kontrak senilai Rp 330.000.000.000 dan USD 139.876.730
7. Kemhan - TNI AU ada 22 kontrak senilai Rp 1.291.213.884.294
8. Polud ada 3 kontrak senilai Rp 134.297.261.339
9. Puspenerbad ada 24 kontrak senilai Rp 655.611.022.950
10. Puspenerbal ada 5 kontrak senilai Rp 16.931.209.580
11. Sekretariat Negara ada 9 kontak senilai Rp 258.822.401.807

Jaksa menyebutkan ada 79 kontrak dengan total Rp 3.052.205.394.745 dan USD 374.856.490 serta EUR 74.318.743.

Simak juga video 'Konstruksi Perkara 3 Tersangka Baru Kasus Korupsi PT DI':

[Gambas:Video 20detik]



Pekerjaan Fiktif

Jaksa lantas mengatakan Irzal, yang saat itu menjabat Kepala Divisi Pemasaran, menghubungi Didi Laksamana menawarkan pekerjaan menjadi mitra penjualan agar PT DI dapat mengeluarkan uang untuk kepentingan alokasi dana khusus itu. Jaksa menyebut mitra penjualan itu diwajibkan mengembalikan uang pembayaran kepada pihak PT DI sebesar 90 persen yang dihitung dari jumlah bersih setelah pajak, sedangkan sisanya sebesar 10 persen untuk perusahaan mitra penjualan.

"Atas tawaran tersebut, Didi Laksamana bersedia sehingga menyiapkan PT Abadi Sentosa Perkasa (PT ASP), PT Angkasa Mitra Karya (PT AMK), PT Bumiloka Tegar Perkasa (PT BTP), PT Penta Mitra Abadi (PT PMA), serta PT Niaga Putra Bangsa (PT NPB) untuk bertindak sebagai mitra penjualan," ucap jaksa.

Selain itu, ada PT Selaras Bangun Usaha (PT SBU) untuk menjadi mitra penjualan. Dalam perjalanannya, jaksa KPK menyebut sebenarnya tidak ada proses negosiasi yang terjadi antara PT DI dan mitra penjualan itu.

"Selanjutnya, walaupun telah mengetahui kerja sama mitra penjualan tersebut fiktif, terdakwa I (Budi Santoso) selaku Direktur Utama PT DI tetap membuat surat kuasa kepada Budiman Saleh, Budi Wuraskito, Eddy Gunawan, serta Muhammad Fikri untuk menjadi pihak yang mewakili PT DI menandatangani kontrak mitra penjualan," kata jaksa.

Beberapa kontrak itu antara lain:
- Pengadaan 16 unit Heli Bell-412 EP Heli Serbu senilai USD 5,3 juta;
- Pengadaan 1 unit Helikopter Bell 412EP untuk Kementerian Pertahanan/TNI AD/Pemprov Kaltim Rp 4,799 miliar;
- Pengadaan 2 unit pesawat CN 235 Patmar senilai USD 3,2 juta;
- Pengadaan 2 unit Helikopter Super Puma NAS-332 untuk Kemhan/TNI AU Rp 26 miliar;
- Pengadaan 4 unit Helikopter Serbu Bell-412EP untuk TNI AD Rp 27 miliar;
- Pengadaan 3 unit Helikopter Angkut Bell - 412EP untuk TNI AL Rp 23 miliar;
- Pengadaan 2 unit Helikopter Dauphin AS365 N3+ Rp 5,2 miliar;
- dll.

Meskipun pekerjaan itu fiktif, PT DI tetap melakukan pembayaran sebesar Rp 205, miliar dan USD 8,65 juta. Lalu atas pembayaran tersebut, sesuai dengan kesepakatan para perusahaan mitra penjualan mengeluarkan uang yang telah diterima tersebut untuk pembayaran biaya-biaya dan pajak serta pengembalian ke PT DI seluruhnya berjumlah Rp 238 miliar. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 217 miliar diterima kembali oleh PT DI dari para mitra penjualan.

"Bahwa atas pengembalian uang (cashback) tersebut, pada 2008 sampai tahun 2016, terdakwa I memberikan persetujuan kepada terdakwa II, Arie Wibowo, Dedi Turmono, Toto Pratondo, Achmad Senjaya, Djajang Tarjuki, Dedi Iriandi, Ahmad Azhar, Ade Yuyu Wahyuna, Ddidi Laksamana serta Ferry Santosa menggunakannya untuk membiayai pengeluaran guna memenuhi permintaan Dana Khusus untuk konsumen pemberi kerja PT DI (end user/customer) sebesar Rp 178,9 miliar sebagaimana kesepakatan Terdakwa II dan Arie Wibowo dengan pihak pemberi kerja (end user) sebagai fee atas dipilihnya produk dan layanan perawatan yang dilakukan oleh PT DI sebagaimana kontrak induk antara PT DI dengan Basarnas, Kementerian Pertahanan, BPPT, Kepolisian Udara, Puspenerbad, Puspenerbal, dan Sekretariat Negara pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2016," kata jaksa.

Selain untuk pihak pemberi kerja, dana khusus yang berasal dari pengembalian tersebut, atas persetujuan itu, Budi Santoso menerima sebesar Rp 2 miliar, Irzal menerima sebesar Rp 13 miliar, dan pejabat serta karyawan PT DI lainnya serta sejumlah pihak lain yang ikut terlibat.

Respons KPK

Sementara itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan soal 'dana khusus' itu belum menjadi fokus penyidik. Menurutnya, penyidik berfokus pada pekerjaan fiktif yang dilakukan mitra penjualan PT DI.

"Yang di dakwaan itu sebagai background-nya, KPK belum fokus ke situ karena itu background dari proses penjualan. Memang info awal itu sudah berjalan, sudah berlangsung, proses itu sudah dilakukan penjualannya itu nyata benar, tapi untuk memperoleh Rp 3 triliun itu kemudian dibuka seolah-olah ada perusahaan jasanya perantaranya, ke agennya, keagenannya yang fiktif itu yang Rp 315 miliar itu yang bermasalah," kata Ali kepada wartawan, Rabu (4/11/2020).

Ali menjelaskan kontrak kerja PT DI dengan customer senilai lebih dari Rp 3 triliun itu sudah berjalan. Namun, menurut Ali, ketika mengerjakan kontrak kerja itu, PT DI melakukan siasat dengan membuat seolah-olah ada agen atau perusahaan jasa perantara yang mengerjakan. Namun ternyata agen dan perusahaan jasa itu diduga fiktif.

"Kalau yang sejauh ini memang benar dilakukan ada proses penjualannya itu, KPK tidak masuk ke situ, tapi masuk ketika menjual yang Rp 3 triliun itu kemudian dibuatlah seolah-olah ada 6 perusahaan perantara jasa keagenannya, jasa keagenannya itu yang fiktif kemudian dikeluarkan Rp 315 miliar," ujar Ali.

Meski demikian, Ali mengatakan KPK akan menelusuri lebih jauh soal kontrak PT DI dengan para customer senilai lebih Rp 3 triliun itu. Sebab, kontrak PT DI dengan customer itu merupakan latar belakang terjadinya dugaan korupsi penjualan dan pemasaran di PT DI.

"Iya tentu nanti untuk background untuk menghasilkan fakta adanya fiktif itu pasti dari situ ditelusuri, pasti dari situ. Cuma info sejauh ini itu faktual proses penjualan itu sejauh ini tidak bermasalah. Yang bermasalah justru seolah-olah ada agen dari pihak ketiga itu yang fiktif. Tapi semuanya itu akan dibuka oleh jaksa sebagai background-nya itu akan dibuka juga dalam persidangan," tuturnya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads