Kunjungan Prabowo ke AS akan dilakukan pada 15-19 Oktober mendatang. Juru bicara Menhan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, menegaskan Prabowo berkomitmen memaksimalkan diplomasi pertahanan, termasuk dengan Amerika Serikat.
"Pak Prabowo berkomitmen untuk terus memaksimalkan diplomasi pertahanan dengan banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Rusia, China, negara-negara Eropa, maupun negara-negara di kawasan," kata Dahnil dalam keterangannya, Kamis (8/10).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prabowo mengaku telah melapor ke Presiden Jokowi soal rencana kunjungan ke AS.
"Ya Amerika negara penting. Saya diundang ya, saya harus memenuhi undangan tersebut," kata Prabowo dalam wawancara khusus courtesy DPP Partai Gerindra seperti dilihat Selasa (13/10).
Gerindra Sebut Prabowo Tak Terkait Pelanggaran HAM Berat
Partai Gerindra menampik isu Prabowo terkait pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Politikus Gerindra ini juga menegaskan nama Prabowo tidak ada dalam kasus penghilangan paksa pelanggaran HAM berat.
Juru bicara Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan kasus penghilangan HAM berat sudah selesai, bahkan anggota Tim Mawar sudah dihukum.
"Statement Pak Arief juga aneh serta menabrak logika hukum. Itu sama saja berjalan dengan kepala di bawah. Jelas sekali bahwa dalam hukum, seseorang dinyatakan bersalah kalau ada putusan pengadilan yang menyatakan demikian. Bukan sebaliknya seperti yang beliau sampaikan," kata Habiburokhman, Kamis (17/9).
Hal ini disampaikan Habiburokhman terkait pernyataan yang dilontarkan Arief Poyuono. Habiburokhman menyebut mengaitkan Prabowo dengan isu pelanggaran HAM masa lalu dinilai menabrak hukum.
"Kasus penghilangan paksa sudah jelas sudah disidang dan anggota Tim Mawar sudah dihukum. Crystal clear. Sama sekali nggak ada nama Pak Prabowo di kasus itu," ujar Habiburokhman.
Lebih lanjut, Habiburokhman mengungkapkan, apabila kasus tersebut kembali dibongkar, hal itu akan melanggar asas ne bis in idem yang ada dalam hukum pidana di Indonesia. Menurutnya, itu akan menabrak kepastian hukum.
"Kalau kasus itu dibongkar kembali tentu melanggar asas nebis in idem atau mengadili perkara yang sama dua kali dan itu menabrak kepastian hukum," ucap Habiburokhman.
(jbr/dhn)