Saat Pribumi Mengalami Diskriminasi di Tengah Wabah Pes Era Penjajahan

Sejarah Pagebluk Zaman Kolonial

Saat Pribumi Mengalami Diskriminasi di Tengah Wabah Pes Era Penjajahan

Danu Damarjati - detikNews
Minggu, 11 Okt 2020 08:32 WIB
Kamp evakuasi wabah pes di Malang, 1911 (Wereldculturen Museum/Public Domain)
Kamp evakuasi wabah pes di Malang, 1911 (Wereldculturen Museum/Public Domain)
Jakarta -

Wabah pes alias sampar melanda Pulau Jawa pada 1911-1916. Malang Jawa Timur menjadi daerah terparah dengan 37.012 korban jiwa. Menurut catatan sejarah, pagebluk itu ditangani dengan cara diskriminatif.

Syefri Luwis dalam bukunya 'Epidemi Penyakit Pes di Malang: 1911-1916', menceritakan bahwa dokter-dokter banyak yang enggan menangani bumiputera alias orang pribumi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masyarakat Jawa biasanya lebih memilih berobat ke pengobatan tradisional atau dukun ketimbang berobat ke dokter. Soalnya, dokter banyak yang sombong.

Apabila ada orang Jawa hendak berobat namun dokter sedang memeriksa orang Eropa atau Tionghoa kaya, maka si Jawa ini harus menunggu di bawah pohon sampai orang Eropa selesai diperiksa. Setelah itupun, si Jawa tidak diperiksa langsung oleh dokter namun lewat pembantu dokter saja. Dokter tidak mau menemui orang Jawa karena biasanya orang Jawa berpenampilan kumuh.

ADVERTISEMENT

Biasanya, pembantu dokter memeriksa orang Jawa itu dan dokter menuliskan resep obat serta apa yang harus dilakukan oleh si pasien, tanpa si dokter harus menangani langsung si pasien pribumi itu. Cara seperti ini juga berlangsung saat wabah pes menerjang Malang.

"Ketika dr Tipto (Mangoenkoesoemo) datang ke Malang untuk memberantas pes, ternyata diketahui banyak dokter-dokter Eropa yang tidak berani turun langsung ke lapangan," tulis Syefri Luwis dalam bukunya.

Di barak isolasi

Masyarakat bumiputera yang terkena pes diwajibkan tinggal di barak-barak isolasi yang disediakan pemerintah. Bila masyarakat bumiputera ngeyel, maka militer akan bertindak memaksa si pribumi berangkat ke barak isolasi.

Orang Eropa dapat dengan mudah menolak dibawa ke barak isolasi. Orang Arab juga meminta perlakuan yang sama. Padahal pemerintah Hindia-Belanda sudah menginstruksikan agar semuanya diperlakukan sama.

Warga yang terjangkit wabah pes di Malang era kolonial Hindia-Belanda, diangkut aparat. (Nationaal Museum van Wereldculturen/Public Domain)Warga yang terjangkit wabah pes di Malang era kolonial Hindia-Belanda, diangkut aparat. (Nationaal Museum van Wereldculturen/Public Domain)

Kondisi di barak isolasi pes saat itu tidak semewah Wisma Atlet Kemayoran Jakarta yang digunakan untuk isolasi Covid-19 saat ini. Barak isolasi itu dibangun sederhana saja, kadang atapnya bocor bila hujan turun. Orang yang sehat bisa saja menjadi sakit bila harus mengisolasi diri sebulan di situ.

Cara orang luar barak memberikan makanan ke pasien isolasi pes di dalam barak adalah dengan memasukkannya lewat lubang kecil. Dinas Kesehatan Pemerintah Hindia Belanda tidak menggubris keluhan masyarakat soal kondisi barak isolasi.

'Kondisi tempat perawatan pasien bumiputera berbeda dengan bansa Eropa, China, dan Arab, yang walaupun jarang dari mereka yang sakit, tetapi mereka mendapatkan fasilitas yang lengkap seperti tempat tidur yang nyaman dan makanan yang sehat," tulis Syefri Luwis.

Koran Tjahaja Timoer tanggal 20 Maret 1914 mengajukan protes atas sikap tidak simpatik bangsa Eropa terhadap pribumi. Kaum pribumi seolah selalu dianggap sebagai pihak yang salah karena tidak patuh anjuran pemerintah. Orang Eropa, Tionghoa, dan Arab bisa membantu dengan uang yang banyak.

Bahkan barak-barak isolasi yang banyak di Malang pada era itu adalah hasil karya orang-orang pribumi juga. Mereka dibayar murah, dijanjikan 35 sen tapi dibayar 15 sen saja. Inilah yang diprotes oleh koran Tjahaja Timoer.

Permukiman pribumi memang menjadi biang penyakit pes, yakni bilik bambu dengan atap jerami yang memudahkan tikus bersarang, tikus adalah hewan vektor basil Yersinia pestis. Mereka kemudian diperintahkan Dinas Kesehatan untuk mengganti atap dengan genting dan melakukan renovasi rumah. Pribumi yang berpenghasilan rendah diberi pinjaman uang, namun kadang uang itu tidak kembali lantaran pribumi biasanya memang berkantong cekak.

Tahun 1915, wabah pes di Malang mulai menurun meskipun masih memakan korban jiwa. Di situasi seperti itu, diskriminasi tetap ada.

Koran Tjahaja Timoer mencatat, penduduk pribumi yang terkena pes tetap dipaksa masuk barak pengungsian. Namun, bangsa Tionghoa tidak. Mereka diizinkan menyewa rumah dalam kawasan perkampungan mereka sendiri, selama rumah mereka dibersihkan dari wabah pes.

"Terlihat bahwa status sosial yang ada di Hindia Belanda membuat orang-orang Tionghoa yang ada dapat menghindari kewajiban mereka untuk tinggal di barak-barak yang disediakan pemerintah," tulis Syefri Luwis.

Halaman 2 dari 2
(dnu/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads