Djoko Tjandra kini mendekam di Rutan Salemba setelah 11 tahun buron. Pengacara Djoko Tjandra, Otto Hasibuan dan Kejaksaan Agung (Kejagung) saling serang terkait keabsahan penahanan terpidana kasus hal tagih (cessie) Bank Bali itu.
Awalnya Otto meminta agar Djoko Tjandra dibebaskan karena menilai penahanan kliennya tidak sah. Otto menjelaskan eksekusi putusan MA dalam peninjauan kembali (PK) nomor 12 PK/PID.SUS/2009. Dia menyebut putusan PK itu batal karena beberapa alasan.
"Pada tanggal 28 Agustus 2000, DT (Djoko Tjandra) telah dinyatakan dilepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 156/Pid.B/2000/ PN.JKT.SEL ('Putusan PN')," kata Otto dalam keterangan yang diterima detikcom, pada Senin (3/8/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Babak Baru Perlawanan Djoko Tjandra |
Atas putusan PN itu, kata Otto, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Namun upaya tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung nomor 1688 K/PID/2000 tertanggal 28 Juni 2001.
"Dengan adanya Putusan Kasasi yang telah berkekuatan tetap tersebut, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan kemudian melakukan eksekusi Putusan Kasasi tersebut dengan mengembalikan barang bukti kepada DT," katanya.
Pada 2009, lanjut Otto, JPU kembali mengajukan upaya hukum PK yang kemudian diputus oleh majelis hakim Agung pada 11 Juni 2009. Pada putusan PK itu Djoko Tjandra dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. Otto menyebut PK tersebut bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 KUHAP.
"Pertama, Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa suatu 'putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap' dikecualikan dari putusan yang dapat diajukan upaya hukum PK. Kemudian, Pasal 263 ayat (1) KUHAP juga mengatur bahwa hak untuk mengajukan upaya hukum PK tidak dimiliki oleh JPU. Oleh karena itu jelas terbukti bahwa upaya hukum PK yang diajukan oleh JPU terhadap Djoko Tjandra (terdakwa) sangatlah tidak berdasar dan telah melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHAP," kata dia.
Otto kemudian merujuk pada Pasal 197 ayat Pasal 197 ayat (1) huruf (k) dan ayat (2) KUHAP. Dia menyatakan perintah penahanan terhadap Djoko Tjandra telah batal demi hukum.
"Oleh karena amar Putusan PK Jaksa di atas tidak memuat perintah penahanan terhadap Djoko Tjandra (terdakwa), maka putusan PK Jaksa tersebut telah batal demi hukum berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf (k) dan ayat (2) KUHAP. Dengan batalnya Putusan PK Jaksa tersebut, satu-satunya putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah Putusan Kasasi juncto Putusan PN yang pada pokoknya melepaskan DT dari segala tuntutan hukum," ungkapnya.
"Bahwa perlu juga disampaikan bahwa kalaupun Putusan PK Jaksa tersebut dianggap tidak batal demi hukum, Putusan PK Jaksa tersebut tidak mengandung perintah penahanan, sehingga tidak ada objek eksekusi yang dapat dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung dalam rangka penahanan. Dengan kata lain, penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sangatlah tidak berdasar karena penahanan pun bukanlah merupakan objek eksekusi sebagaimana dalam amat Putusan PK Jaksa," jelasnya.
Dengan demikian, Otto mengatakan penahanan terhadap Djoko Tjandra pada 31 Juli lalu tidak sah. Jadi dia meminta agar kliennya dibebaskan.
Menanggapi hal itu, pihak Kejagung angkat suara. Kapuspenkum Kejagung, Hari Setiyono mengatakan pada 31 Juli lalu pihaknya hanya menjalani eksekusi bukan penahanan seperti yang disebutkan Otto.
"Artinya tugas jaksa pada saat itu selaku eksekutor selesai terhadap penempatan napi mau ditempatkan dimana itu sudah menjadi wewenang Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Jadi kami ulangi, tugas jaksa dalam hal ini adalah eksekusi terhadap putusan peninjauan kembali nomor 12 tahun 2009. Jadi tidak ada istilah penahanan ya, jadi eksekusi," kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono kepada wartawan di Gedung Bundar Jampidsus, Jakarta Selatan, Selasa (4/7/2020).
Hari menuturkan bahwa eksekusi dilakukan berdasarkan putusan majelis hakim PK Djoko Tjandra.
Menurutnya, bila ada yang mempermasalahkan maka Kejagung siap bertanggung jawab dalam ranah hukum.
"Jadi kalaupun ada yang berpendapat bahwa, itu tidak sah ataupun harus batal demi hukum maka kami siap jika hal tersebut akan dipermasalahkan dalam tataran ranah hukum," jelasnya.
"Misalnya, melalui proses hukum kami akan siap melakukan penjelasan terhadap hal itu. Jadi kami ulangi sekali lagi bahwa jaksa eksekutor melaksanakan tugasnya dalam rangka eksekusi tidak ada lagi yang namanya penahanan. Penahanan itu dalam ranah penyidikan penuntutan maupun di persidang," sambungnya.
Hari menjelaskan jaksa melaksanakan eksekusi hukuman badan atas putusan majelis hakim PK Djoko Tjandra.
"Bahwa pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde) dalam perkara pidana merupakan bagian dari penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang," papar Hari.
Adapun kewenangan jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap diatur dalam Pasal 270 KUHAP, Pasal 30 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hari menyatakan berdasarkan putusan PK yang telah berkekuatan hukum tetap itu jaksa telah melaksanakan eksekusi terhadap putusan PK Djoko Tjandra.
"Bahwa putusan PK tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga setelah terpidana berhasil ditangkap maka Jaksa telah melaksanakan eksekusi pada hari Jum'at, tanggal 31 Juli 2020 berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor: Print-693/M.1.14/fd.1/05/2020 tanggal 20 Mei 2020 dengan cara memasukkan ke rumah tahanan negara kelas 1 Jakarta Pusat untuk menjalani pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp.15.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan," ujar Hari.
Lebih lanjut, Hari menuturkan eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hari mengatakan sementara terhadap eksekusi selebihnya termasuk uang sebesar Rp. 546.468.544.738,- telah dilaksanakan oleh Jaksa eksekutor tahun 2009. Hari menjelaskan terkait penahanan yang dipersoalkan pengacara Djoko Tjandra, menurut Kejagung, eksekusi yang dilakukan jaksa telah sesuai undang-undang.
Hal ini tentu berbeda dengan pengertian "Penahanan" yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hari menyebut jaksa telah melakukan eksekusi terhadap hukuman badan, bukan melakukan penahanan, karena harus dibedakan penahanan dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hari menerangkan, bahwa surat putusan pemidanaan diatur dalam pasal 197 KUHAP namun tentunya dalam memahami pasal 197 KUHAP haruslah dikaitkan dengan pasal sebelumnya yaitu pasal 193 KUHAP. Perlu dijelaskan pula bahwa dalam perkara tertentu dimana jenis perkara tersebut memang tidak dapat dikenakan penahanan terhadap Terdakwa, jika pengadilan memerintahkan terdakwa untuk segera ditahan justru pengadilan melanggar hukum.
Selain itu dalam kondisi-kondisi tertentu lainnya walaupun perkara yang dinyatakan terbukti adalah perkara atas tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan, namun pengadilan juga tidak akan memerintahkan agar terdakwa untuk segera ditahan (apabila sebelumnya ia tidak ditahan), yang mana jika pengadilan memerintahkan agar terdakwa segera ditahan maka putusan justru akan menjadi tidak masuk akal, yaitu terhadap putusan-putusan dimana hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah hukuman percobaan (pidana bersyarat) sebagaimana pasal 14 a KUHP atau putusan-putusan dimana hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan hanyalah pidana denda.
Dalam putusan dimana hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan (pidana bersyarat) pengadilan tidak perlu memerintahkan penahanan. Kondisi lainnya yang memungkinkan Pengadilan tidak memerintahkan agar Terdakwa segera ditahan adalah jika pengadilan tidak mau memerintahkan hal tersebut, perintah penahanan tersebut adalah diskresi pengadilan.
Sah jika pengadilan tidak menggunakan kewenangan diskresional-nya (pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP) selain itu perintah penahanan tersebut juga tidak dapat dilakukan jika masa wewenang penahanan yang dimiliki pengadilan telah habis.
"Berdasarkan uraian tersebut di atas haruslah dibedakan pengertian antara penahanan untuk tersangka atau terdakwa selama proses pemeriksaan berlangsung yang merupakan instrumen untuk mencegah tersangka atau terdakwa, sedangkan hukuman/pidana adalah penderaan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang diatur oleh undang-undang sebagai konsekuensi atas perbuatan yang menurut proses peradilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa," ungkapnya.
Selain itu perintah penahanan juga dibatasi secara limitative dalam pasal 26, 27 dan 28 KUHAP sesuai tingkatannya, dimana penahanan dapat dilakukan terhadap putusan yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap dari mulai Putusan tingkat pertama, putusan banding dan putusan kasasi. Sedangkan dalam upaya hukum peninjauan kembali tidak ada aturan yang dapat digunakan untuk melakukan penahanan, karena perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
"Sehingga yang dilakukan oleh jaksa adalah melakukan eksekusi hukuman badan untuk menjalankan putusan hakim PK bukan melakukan penahanan. Hakim PK tidak akan memberikan penetapan mengenai status terdakwa seperti dalam pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP karena memang tidak terdapat kewenangan hakim PK untuk melakukan penahanan, apabila disebutkan maka justru merupakan hal yang melawan hukum," ujarnya.
Dengan demikian, Kejagung menyampaikan tugas jaksa selaku eksekutor telah selesai setelah dilaksanakan eksekusi tersebut yang kemudian ditandatangani terpidana Djoko Tjandra. Sementara itu terkait penempatan terpidana menjalani pidananya merupakan kewenangan Kemenkum HAM.
"Dengan telah dilaksanakannya eksekusi tersebut sesuai dengan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang ditanda tangan oleh Terpidana Joko Soegiarto Tjandra, Jaksa Eksekutor dan Kepala Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat maka tugas Jaksa telah selesai, sedangkan untuk penempatan terpidana menjalani pidananya adalah menjadi kewenangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia," ujar Hari.
Berikut ini bunyi amar putusan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor: 12K/Pid.Sus/2008 tanggal 11 Juni 2009 terkait Djoko Tjandra:
1. Menyatakan Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana "turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut";
2. Menjatuhkan Pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun ;
3. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp. 15.000.000,-, (lima belas juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
4. Menyatakan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow Account atas rekening Bank Bali No. 0999.045197 qq. PT. Era Giat Prima sejumlah Rp. 546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) dirampas untuk dikembalikan pada negara;
5. Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam daftar barang bukti tetap terlampir dalam berkas;