Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum tata negara Refly Harun mengungkapkan putusan MA tersebut tidak memiliki manfaat. Menurutnya, keputusan tersebut hanya membuat gaduh di masyarakat.
"Kalau kita kaitkan dengan, misalnya, kemanfaatan, kemudian keadilan dan kepastian hukum, ya saya mengatakan putusan MA ini nggak bermanfaat sama sekali ya, hanya bikin gaduh saja sebenarnya, tidak bermanfaat," ujar Refly.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut Refly menjelaskan, meskipun keputusan MA tersebut diserahkan kepada KPU pada 28 Oktober, menurutnya hal itu juga tidak akan memiliki manfaat apa pun. Sebab, kata Refly, presiden dan wakil presiden terpilih telah dilantik sebelum MA membuat keputusan itu.
"Kalaupun dia diputuskan tanggal 28 Oktober, kemudian dimasukkan ke website 28 Oktober juga, diserahkan kepada KPU 28 Oktober juga, tidak tanggal 3 Juli seperti hari ini, dia pun tidak punya manfaat karena kita tahu bahwa proses pemilu sudah selesai dengan pelantikan presiden tanggal 20 Oktober atau 8 hari sebelumnya," kata Refly.
Seperti diketahui, Rachmawati Soekarnoputri menang melawan KPU di Mahkamah Agung (MA) terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Putusan yang membatalkan peraturan KPU soal syarat suara mayoritas bila ada dua capres ini diketok oleh ketua majelis Supandi pada Oktober 2019 dan baru dipublikasi pekan ini.
KPU menyatakan perolehan suara Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin sudah sesuai dengan syarat UUD 1945. KPU pun merujuk pada Pasal 6A UUD 1945.
"Bila peserta pemilu hanya ada dua pasangan calon (paslon), secara logis seluruh suara sah secara nasional (100%) bila dibagi 2 paslon, tentu 1 paslon memperoleh suara lebih dari 50% (>50%) dan paslon lain memperoleh suara kurang dari 50% (<50%)," kata anggota KPU, Hasyim Asy'ari, dalam siaran pers yang didapat detikcom, Selasa (7/7).
(aik/aik)