Ia menjelaskan lebih baik merevisi KUHAP daripada MA mengeluarkan surat edaran terus menerus. Sebab, menurutnya, praktik hukum selama ini undang-undangnya belum direvisi, tetapi sering tambal sulam dengan perma atau sema.
"Itu saran saya, kalau saya lebih baik kita merevisi KUHAP. Daripada budaya kita itu sudah cukup lama dalam dunia peradilan itu UU-nya belum direvisi tapi ditambal sulam dengan beberapa perma yang ada maupun sema," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Benny, Jampidum Kejagung Sunarta mengatakan pada saat pelaksanaan persidangan online terdapat beberapa perdebatan karena ada beberapa hal yang belum diatur di KUHAP yang disusun pada 1981. Ia mendorong agar nantinya mekanisme persidangan online dapat masuk di dalam revisi KUHAP.
"Kelemahan yuridis formal pelaksanaan sidang online tersebut perlu kita pahami bersama mengingat KUHAP memang belum mengatur mengenai pelaksanaan sidang secara online. KUHAP disusun pada 1981, di mana teknologi yang dicantumkan masih menggunakan media kawat atau telegram. Tentu pada era tersebut belum terbayang penggunaan video conference untuk pelaksanaan sidang. Namun, dengan adanya perkembangan yang terjadi di masyarakat, khususnya adanya perkembangan teknologi informasi dalam keadaan darurat kesehatan," ujarnya.
Sementara itu, MA dalam waktu dekat akan mengeluarkan perma yang mengatur tentang mekanisme administrasi dan persidangan perkara pidana secara elektronik. Hal ini dilakukan untuk mendukung regulasi kerja sama MoU antara Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kemenkum HAM mengenai pelaksanaan persidangan melalui teleconference.
"Kami dari Mahkamah Agung sekarang ini sedang menyusun peraturan Mahkamah Agung (perma) melalui administrasi dan persidangan perkara pidana secara elektronik di pengadilan," kata Ketua Kamar Pidana MA Suhadi dalam kesempatan yang sama.
(yld/aud)