"Yang dipersoalkan dalam RUU ini adalah pemaksaannya atau ketiadaan persetujuannya itu. Ketiadaan persetujuan untuk aborsi, itu dikatakan kekerasan, dikatakan pemaksaan. Tetapi aborsinya, pelacurannya tidak dianggap sebagai sesuatu bermasalah sehingga kalau itu dilakukan karena suka atau karena setuju itu nggak bermasalah dalam RUU ini," kata Euis saat berbincang, Kamis (14/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kembali ke pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Euis menuturkan dalam setiap pasal dalam RUU PKS memang tak tertuang bahwa perzinahan dan LGBT tidak dilarang. Namun, ia menilai, bunyi dari Pasal 1 dan 11 RUU PKS itulah yang seolah-olah mengizinkan perzinahan dan LGBT.
Pasal 1 RUU PKS menjelaskan definisi tentang kekerasan seksual, penghapusan kekerasan seksual, korban, saksi hingga penanganan peritiwa kekearasan seksual. Sementara Pasal 11 mengatur tentang tindakan yang masuk kategori pidana kekerasan seksual.
"Jadi artinya tidak ada di dalam pasal di RUU (PKS) ini pro-zina, pro-LGBT, tidak ada pasal yang vulgar seperti itu dan nggak mungkin. Tapi Pasal 1 kemudian Pasal 11 diuraikan lagi di pasal-pasal berikutnya itu justru membuka ruang untuk terjadinya pemaknaan seperti itu. Selama itu disetujui, selama itu adalah suka, maka dia tidak menjadi masalah. Nah itu yang kami keberatan," jelasnya.
Alasan kedua Euis menolak karena menganggap RUU PKS diskriminasi gender. Sebab, menurut profesor bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga itu, penyusunan naskah akademik RUU PKS tidak menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak laki-laki sebagai dasar.
"Karena misalnya kekerasan seksual terhadap laki-laki yang ternyata sekarang angkanya banyak dan hasil survei 2016, anak laki-laki itu angka kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, (laki-laki) 28%, perempuan 20%. Anak laki-laki, di dalamnya ada kekerasan seksual, ada kekerasan umum," ujar Euis.
"Nah ini di dalam RUU ini, di dalam naskah akademiknya tidak di-acknowledge sama sekali. Karena mungkin itu selalu berkaitan dengan seks menyimpang. Nah padahal seks menyimpang sebagai norma itu kan tidak diatur oleh RUU ini. Jadi mau mengatakan nondiskriminatif tapi kenyataannya diskriminatif," tuturnya menambahkan.
Alasan ketiga Euis yakni RUU PKS seperti tidak memikirkan dampak terhadap hubungan keluarga. Dia menyebut, apabila RUU PKS ini disahkan, seorang anak yang tidak terima diminta menutup aurat bisa menuntut orang tuanya.
"Jadi kalau tadi misalnya dikatakan kekerasan dan harus dihapus. Kalau perbuatan, perbuatan termasuk ujaran, termasuk ucapan misalnya. Ucapan yang maksudnya mendidik, misalnya orang tua kepada anak, disuruh menutup aurat. Kemudian ucapannya (orang tua) sedikit keras karena ingin melindungi anak. Kalau anaknya tidak setuju, anak bisa tuntut orang tua dengan pasal itu," terang Euis.
Euis menuturkan RUU PKS tidak boleh memisahkan urusan teknis pendefinisian kekerasan dengan norma penyimpangan seksualnya. Dia menyarankan agar RUU tersebut dikaji ulang dan namanya diperbaiki.
"Jadi inilah yang kemudian kita meminta untuk diperbaiki namanya. Jadi istilahnya itu ada teman-teman menyarankan (RUU PKS diubah menjadi) RUU tentang Penghapusan Kejahatan Seksual. Karena kalau kekerasan itu terminologinya kan hanya mengatur mekanismenya. Kalau kejahatan yang dimaksudkan adalah mengatur tentang tadi, larangan kekerasan yang definisinya perlu diperbaiki dan normanya," papar Euis. (zak/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini