Jakarta -
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) mendukung perlawanan atas tradisi 'kawin tangkap'. Pemprov NTT setuju jika tradisi yang melanggar hak asasi manusia (HAM) dihilangkan.
"Pemprov NTT mendukung setiap upaya untuk menghilangkan dampak-dampak budaya, adat istiadat yang melanggar hak asasi manusia," kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu kepada detikcom, Selasa (30/6/2020).
Jelamu menuturkan sekarang merupakan era kesetaraan. Menurut dia, harus ada upaya dari pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama untuk meniadakan tradisi yang menodai HAM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi di dalam era kehidupan modern sekarang, di mana prinsip kesetaraan, keadilan, menghormati martabat manusia dan hak asasi, harus ada upaya dari para tokoh, baik dari pemerintah maupun tokoh-tokoh agama, tokoh adat, untuk bisa menghilangkan budaya-budaya adat yang membelenggu kemanusiaan. Ini kan membelenggu kemanusiaan dan martabat manusia," ungkap Jelamu.
Sebagaimana diketahui, praktik 'kawin tangkap' di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), jadi sorotan setelah videonya viral. Jelamu menuturkan prinsip 'peraturan untuk manusia', bukan malah sebaliknya, 'manusia untuk peraturan.
"Jadi kita harapkan pemerintah kabupaten di daratan Sumba, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat untuk duduk bersama bicarakan bersama, sosialisasikan bagaimana aspek kesetaraan, kemartabatan, keadilan, universalitas, kemanusiaan dan sebagainya. Jangan sampai adat istiadat itu justru berlawanan dengan HAM. Tidak boleh. Adat istiadat harus jadi bagian dari kehidupan manusia dan bagian dari upaya meningkatkan martabat manusia," jelas Jelamu.
Dia mengatakan Gubernur NTT belum membahas soal ini. Namun, Jelamu mengatakan, dalam perkawinan modern, tidak bisa lagi memaksa.
"Kita tidak bisa kembali lagi ke jaman Siti Nurbaya. Kalau Siti Nurbaya kan perempuan itu pingitan tunggu dijodohkan orang tua, masih lebih halus. Ini tiba-tiba diambil di tengah jalan repot ini. Para intelektual Sumba harus berbicara, masa di jaman modern masih ada seperti itu," ujarnya.
Sementara itu, kini muncul petisi yang meminta perda larangan kawin tangkap. Dilihat detikcom di change.org, pukul 10.59 WIB tadi, petisi berjudul 'Terbitkan Perda Larangan Kawin Tangkap di Sumba' itu dibuat oleh Badan Pengurus Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati).
Sudah ada 1.500 pendukung petisi yang dimulai sejak tiga hari lalu itu. Dipaparkan ada tiga kejadian di Sumba Tengah yang menjadi sorotan yakni pada Januari 2017, Desember 2019, dan Juni 2020.
Praktik kawin tangkap dinilai sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan karena tubuh perempuan dikontrol dan dijadikan objek seksual laki-laki. Praktik ini, katanya, jelas melanggar hak asasi perempuan seperti tercantum dalam 'The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)' yang telah diratifikasi melalui UU RI Nomor 7 Tahun 1984.
"Oleh sebab itu, kami memerlukan dukunganmu kawan-kawan untuk mendorong Gubernur Nusa Tenggara, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, SH, MKn, agar mengeluarkan Aturan Larangan Praktik Kawin Tangkap di 4 Kabupaten di Pulau Sumba sehingga jika ada yang masih melakukannya dapat diproses secara hukum," ujarnya.
Seperti yang beredar di media sosial, sebuah video menunjukkan seorang perempuan menangis dan berteriak saat digotong oleh sejumlah pria dan dibawa masuk ke satu rumah di Kabupaten Sumba Tengah. Di samping itu, ada satu video yang menunjukkan seorang perempuan yang 'diculik' oleh empat pria saat berada di satu terminal di Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Kedua rekaman video itu menggambarkan bagian dari proses kawin tangkap, praktik yang dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengecam praktik tersebut. Bintang meminta para pelaku diproses hukum oleh kepolisian.
"Ya ini kita masih lakukan penyelidikan. Untuk laporan kan belum ada, dengan viralnya video ini kita masih melakukan penyelidikan. Iya memang banyak tradisinya seperti itu, Sumba Timur ada juga, Sumba Barat Daya, kan ada tiga wilayah lah (Sumba). Iya kita masih telusuri," sebut Kapolres Sumba Barat AKBP Khairul Saleh saat dihubungi detikcom, Senin (29/6).
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini