"Budaya atau tradisi tidak statis, tetapi dinamis. Kasus kawin tangkap adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak. Jadi jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," ujar Bintang, dilansir Antara pada Senin (29/6/2020).
Menyusul laporan beberapa aktivis ke kepolisian mengenai praktik kawin tangkap di Sumba, Bintang meminta Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur menangkap para pelaku 'kawin tangkap'. Seorang perempuan Sumba Tengah, Rambu Prailiang, mengatakan 'kawin tangkap' adalah tradisi turun menurun, namun praktiknya sudah berbeda dari yang dulu.
"Tradisi ini sebenarnya sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Namun jika dilihat yang terjadi saat ini berbeda sekali dengan yang terjadi pada lalu-lalu," kata Rambu.
Rambu tak setuju dengan praktik kawin tangkap saat ini. Dia menjelaskan pelaksanaannya pada masa sekarang sudah melenceng jauh.
Dia menerangkan perempuan yang menjalankan tradisi itu atau yang disebut dalam bahasa daerahnya Palaingidi Mawini, dihargai pada masa lalu. Dulu orang yang menjalankan praktik kawin tangkap harus berasal dari keluarga kaya karena belis atau mahar yang harus dibayarkan ke pihak perempuan besar.
Rambu menyebut dulu perempuan yang akan 'ditangkap' juga sudah dipersiapkan, didandani dengan pakaian adat lengkap dengan aksesoris gelang gading dan aneka perhiasan. Pria yang akan menikahi perempuan itu pun mengenakan pakaian adat lengkap dan menunggang kuda berhias kain adat.
Setelah perempuan 'ditangkap', pihak laki-laki akan mengirim utusan ke keluarga perempuan untuk menyampaikan informasi mengenai kejadian kawin tangkap tersebut. Namun Rambu mengungkapkan praktik kawin tangkap lebih mengarah pada penculikan dan membuat kaum perempuan Sumba, khususnya di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, hidup dalam ketakutan sekarang.
Analisis Peneliti dan Pengamat soal 'Kawin Tangkap'
Seperti yang beredar di media sosial, video yang menunjukkan seorang perempuan menangis dan berteriak saat digotong oleh sejumlah pria dan dibawa masuk ke satu rumah di Kabupaten Sumba Tengah. Di samping itu, ada satu video yang menunjukkan seorang perempuan yang 'diculik' oleh empat pria saat berada di satu terminal di Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Kedua rekaman video itu menggambarkan bagian dari proses kawin tangkap, praktik yang dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman.
Sementara itu, seorang peneliti bernama Janet Alison Hoskin yang melakukan riset di Kodi Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat menyatakan 'kawin tangkap' bukan budaya atau tradisi, melainkan praktik yang terus-menerus berulang di Pulau Sumba.
Sedangkan menurut antropolog dari Universitas Widya Mandira Kupang Pater Gregorius Neonbasu SVD, menilai praktik kawin tangkap di Pulau Sumba hanyalah tindakan pragmatis yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat.
"Jadi menurut saya hal tersebut harus segera ditanggapi oleh tokoh masyarakat atau sesepuh masyarakat Sumba sendiri karena memang praktik kawin tangkap itu sendiri hanyalah tindakan yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat di daerah itu," ucap Pater Gregorius.
Menurut dia, masyarakat Sumba pada umumnya juga berjuang untuk sedapat mungkin menghindari praktik kawin tangkap yang kontroversial.
Gregorius mengimbau pihak gereja di Sumba, baik gereja Katolik dan Protestan untuk membuka dialog budaya dengan pihak Marapu, dalam hal ini para rato sebagai sesepuh masyarakat setempat untuk membahas praktik 'kawin tangkap' ini.
"Untuk masalah ini hemat saya gereja Katolik dan Protestan harus duduk bersama dengan para rato atau sesepuh adat di daerah itu untuk berdialog bersama terkait hal kawin tangkap itu," kata Gregorius.
Menurutnya, strategi paling manusiawi dan berbudaya adalah membangun sebuah cara pandang pelayanan terpadu antar berbagai institusi, baik itu gereja, pemerintah, dan masyarakat. Rohaniwan Katolik itu melanjutkan, menjaring cara pandang itu diawali dengan menyamakan persepsi serta menghindari sikap serta perasaan superioritas dan perilaku mau menang sendiri serta saling mendengar dengan sikap tulus ikhlas.
Dia menceritakan pernah berdiskusi dengan para rato dari Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, serta dengan Pastor Robert Ramone CSsR yang juga budayawan dan pakar di Sumba, yang kini menghuni dan merawat rumah budaya Sumba di Tambolaka.
"Pada tahun 2015-2016 itu saya mendapatkan banyak keluhan yang sangat signifikan dari para rato bahwa tradisi, adat dan budaya tata krama kehidupan manusia dan masyarakat Sumba kini sepertinya terobrak-abrik," ujar Gregorius.
Hal ini berakibat pada selalu muncul seribu satu persoalan hidup bersama, antara lain munculnya kawin tangkap yang mana di setiap kabupaten di Sumba itu mempunyai sebutan yang berbeda-beda.
Gregorius menilai baik pemerintah, maupun gereja yang mewakili institusi agama, dan juga agama dan kepercayaan lain, hendaknya dengan rendah hati menjaring kerja sama dengan para rato. Dia berharap jejaring sosial dan kerja sama yang dialogis ini bisa menemukan akar persoalan sampai terjadinya kawin tangkap yang masih terjadi di beberapa wilayah di pulau Sumba itu.
"Selama ini menurut saya, belum ada usaha yang serius untuk mencari akar persoalan, dan terlebih seberapa jauh sesepuh masyarakat Sumba mencari jalan yang konsisten untuk mengatasi persoalan tersebut," tutur dia.
Namun dia meyakini, kini manusia dan masyarakat Sumba sedang berupaya untuk mencari cara dan pola yang baik guna sesegera mungkin menangani sampai tuntas praktik kawin tangkap itu. Dia menambahkan, dinamika pembangunan Sumba juga harus melibatkan para rato, tokoh-tokoh agama dan sesepuh masyarakat lainnya, dalam rangka menanggapi berbagai persoalan yang ada di seluruh kawasan Pulau Sumba.
Menurut dia, skema kerja sama yang harus diterapkan adalah menjaring sebuah pendekatan kultural yang dimaksudkan adalah pihak gereja harus memulai 'dialog yang dialogis' serta membuka pintu budaya untuk menjaring relasi dengan para rato. Dia berharap dialog soal praktik kawin tangkap itu menggunakan berbagai aturan yang bernuansa 'kultur Sumba' untuk mengkaji serta menangkal melencengnya praktik kawin tangkap itu sendiri.
"Ada istilah dalam Bahasa Latin sebagai berikut: UBI SOCIETAS, IBI IUS yang berarti di mana ada masyarakat, di sana ada aturan. Masyarakat Sumba memiliki sedemikian banyak aturan sebagai panduan dan pedoman bagi manusia dan masyarakat yang mendiami Pulau tersebut," tutur dia.
Polisi Selidiki Pelaku 'Kawin Tangkap' yang Viral di Medsos
Menanggapi viralnya video tersebut dan disorot Menteri PPPA, polisi setempat mengatakan pihaknya masih menyelidiki video yang viral di media sosial itu.
"Ya ini kita masih lakukan penyelidikan," sebut Kapolres Sumba Barat AKBP Khairul Saleh saat dihubungi detikcom.
Untuk diketahui, Kabupaten Sumba Tengah masuk wilayah hukum Polres Sumba Barat. Khairul mengatakan sejauh ini belum ada laporan ke polisi soal video tersebut.
"Untuk laporan kan belum ada, dengan viralnya video ini kita masih melakukan penyelidikan," kata dia.
poster Foto: Edi Wahyono |
Belum diketahui kapan tepatnya aksi di video 'kawin tangkap' itu terjadi. Namun Khairul menyebut 'kawin tangkap' memang tradisi di tiga wilayah yakni Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah.
"Iya memang banyak tradisinya seperti itu, Sumba Timur ada juga, Sumba Barat Daya, kan ada tiga wilayah lah (Sumba). Iya kita masih telusuri," tutur dia.
Giliran legislator angkat bicara perihal tradisi itu. Anggota Komisi IX DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumba Ratu Ngadu Bonu Wulla mengaku prihatin praktik 'kawin tangkap' sampai sekarang masih terjadi.
Sebagai perempuan, dia mengaku bisa merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui perempuan-perempuan di Pulau Sumba akibat praktik yang mengatasnamakan budaya itu. Dia mengatakan 'kawin tangkap' telah membuat hak perempuan di Sumba terampas.
"Saya sebagai seorang perempuan dan juga berasal dari Sumba saya tidak setuju dengan budaya ini jika dipertahankan karena memang sangat berdampak buruk pada kaum perempuan di Sumba," kata Ratu Ngadu, seperti dilansir Antara.
Selain itu Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur, Emilia Nomleni mengemukakan praktik kawin tangkap telah menimbulkan ketakutan bagi perempuan dan anak-anak perempuan di Sumba. Dia mengatakan orang-orang yang tidak merasakan langsung dampak praktik kawin tangkap mungkin bisa menganggapnya sebagai hal biasa, namun tidak demikian dengan perempuan yang mengalami atau menyaksikannya langsung.
"Tentu saja praktik ini juga akan berdampak pada kehidupannya setelah menikah nanti. Tetapi sebenarnya praktik ini juga sebenarnya tidak boleh," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Komentar perihal 'kawin tangkap' juga dikemukakan komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi. Dia memandang praktik itu merupakan bagian dari tindak kekerasan seksual berupa pemaksaan perkawinan.
Menurut dia, praktik itu harus dihentikan dan semua pihak, dari aparat pemerintah, aparat kepolisian, sesepuh adat, tokoh agama, hingga masyarakat setempat, harus ikut menghentikannya.
"Ini melanggar hukum, karena memang korban, dalam hal ini perempuan, itu dirampas kebebasannya. Oleh karena itu, perlu bergandengan tangan menjaga agar kaum perempuan di Sumba tidak lagi menjadi korban akan hal itu," katanya.
Emilia mengatakan sudah saatnya praktik kawin tangkap dihentikan.
"Dulu bagi saya mungkin ada hubungan kait-mengait sehingga proses praktik ini bisa dilegalkan, tetapi dengan seiring perkembangan jaman seharusnya tidak boleh lagi dilakukan," katanya.
Ia menekankan bahwa kaum perempuan dan anak-anak harus dilindungi dari praktik-praktik yang merampas hak dan menimbulkan ketakutan seperti kawin tangkap.