Membaca Putusan MK, Angka Parliamentary Threshold Tak Langgar Konstitusi

Membaca Putusan MK, Angka Parliamentary Threshold Tak Langgar Konstitusi

Andi Saputra - detikNews
Senin, 15 Jun 2020 16:05 WIB
gedung mk
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi (20detik)
Jakarta -

Parliamentary threshold kembali mengemuka di parlemen seiring rencana DPR akan menaikkan ambang batas dari 4 persen menjadi 7 persen. Bila disahkan, maka hanya parpol yang mendapatkan suara 7% ke atas saja yang bisa duduk di Senayan. Konstitusionalkah?

Dalam catatan detikcom, Senin (15/6/2020), Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berulang kali mengadili soal konstitusionalitas parliamentary threshold tersebut. Di antaranya:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Putusan ini terkait parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Duduk sebagai pemohon yaitu Partai Politik Peserta Pemilu 2009 (PDP, PP, PPD, PPRN, PIS, PNBK Indonesia, PPIB, Pakar Pangan, Hanura, PKDI).

Akhirnya, MK menyatakan parliamentary threshold konstitusional dan tidak melanggar UUD 1945. Dalam putusan ini, ada dua pertimbangan hukum MK menyetujui parliamentary threshold:

ADVERTISEMENT

Kebijakan parliamentary threshold diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

Ketentuan mengenai adanya parliamentary threshold seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan undang-undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan parliamentary threshold untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

Namun putusan ini tidak bulat. 2 Hakim konstitusi tidak sependapat. Yaitu:

Maruarar Siahaan berpendapat masalah penyederhanaan partai politik di parlemen sebagai strategi penguatan sistem presidensil adalah merupakan instrumen yang tidak proporsional dibandingkan dengan bobot kedaulatan rakyat dan hak asasi dalam konstitusi, yang seharusnya menjadi sumber legitimasi strategi tersebut. Prinsip keterwakilan yang telah dinyatakan dalam bentuk suara yang diberikan, sebagai kedaulatan rakyat, harus dipisahkan dengan masalah kepartaian sebagai determinant factor, yang sesungguhnya telah selesai bagi rakyat ketika calon yang direkrutnya telah ditawarkan dan dipilih secara final.

Akil Mochtar berpendapat tidak jelas ratio legis dan konsistensinya. Hal ini sekaligus menunjukkan tidak ada relevansinya dengan keinginan membangun Sistem Kepartaian Sederhana serta penguatan lembaga legislatif dalam sistem presidensiil yang kuat. Hal tersebut, telah memberikan perlakuan yang tidak sama serta menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Tonton video 'DPR Bahas 3 Opsi Parliamentary Threshold Pileg 2024: Dari 4% Hingga 7%':

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012

Dalam putusan ini, dipersoalkan angka Parliamentary Threshold sebesar 3,5 persen. Dalam putusan itu dinyatakan angka Parliamentary Threshold itu hanya berlaku di tingkat nasional. Sedangkan untuk DPRD tidak berlaku Parliamentary Threshold.

Pertimbangan hukum MK adalah karena pemberlakuan PT untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-X/2012

MK tidak menerima permohonan pemohon dengan alasan nebis in idem yaitu permohonan ternyata tidak didasarkan pada dasar pengujian konstitusionalitas yang berbeda dari permohonan sebelumnya dan alasan-alasan permohonan telah pula dipertimbangkan dalam sebelumnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XI/2013

Di putusan ini, MK menegaskan kembali dalam pertimbangan hukumnya bahwa ketentuan PT 3,5% merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang sebagai politik penyederhanaan kepartaian yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads