DPR tengah mengkaji kenaikan angka ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) dari angka 4% menjadi 7%. Beragam tanggapan pun dikemukakan oleh partai politik.
Sebagaimana diketahui, Komisi II DPR RI akan merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Beberapa hal yang akan dikaji adalah soal angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dari yang saat ini 4%, dinaikkan menjadi 7%.
"Kita mau revisi UU Pemilu. Draf naskah akademi RUU Pemilunya lagi kita sempurnakan," ungkap Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustofa dalam perbincangan, Rabu (10/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada beberapa poin yang akan dikaji ulang dalam RUU Pemilu kali ini. Mulai dari sistem pemilu, ambang batas parlemen dan ambang batas pencapresan atau presidential threshold, sistem konversi suara, keserentakan pemilu, district magnitude (besaran daerah pemilihan), juga teknis-teknis pelaksanaan pemilu.
Menurut Saan, ada beberapa alternatif besaran angka ambang batas parlemen yang diajukan dalam draf. Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah batas suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
"Kalau di draf-draf itu kita ada 3 alternatif ya. Alternatif pertama ada yang 7% dan berlaku nasional. Alternatif kedua 5% berlaku berjenjang, jadi (DPR) RI 5%, (DPRD) Provinsi-nya 4%, Kabupaten/Kota 3%. Alternatif ketiga tetap 4% tapi provinsi dan kabupaten/kota 0% seperti sekarang," jelas Saan.
Partai-partai politik pun bersuara soal wacana kenaikan ambang batas ini. Berikut ini tanggapannya:
PKB
Menanggapi wacana ini, PKB justru mengusulkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) diturunkan menjadi 10 persen. PKB menilai penurunan ambang batas itu untuk mengurangi tajamnya polarisasi dukungan kepada masing-masing capres.
"Kami mendorong agar Presidential Threshold diturunkan hingga 10% sehingga dalam pemilihan presiden mendatang dimungkinkan munculnya lebih dari dua pasangan calon. Dengan demikian rakyat lebih banyak opsi untuk memilih pemimpin mereka," kata Sekretaris Fraksi FPKB DPR Fathan Subchi dalam keterangannya, Rabu (6/10/2020).
Sementara itu, PKB setuju ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7 persen dari yang sebelumnya 4 persen. Batasan 7 persen itu dinilai Fathan akan menyederhanakan proses politik di DPR.
"PKB ingin (parliamentary threshold) ada di angka 7% kursi DPR yang diraih oleh partai politik peserta pemilu. Batasan 7% ini akan menciptakan lembaga parlemen yang sederhana dan stabil. Kami ingin lembaga parlemen di masa depan kian ramping sehingga menyederhanakan proses-proses politik dalam pelaksanaan fungsi sebagai wakil rakyat baik dalam hal pengawasan, anggaran, maupun proses legislasi," ujar Fathan.
Partai Garuda
Namun, tanggapan berbeda disampaikan oleh Partai Garuda. Partai Garuda menilai hal ini mempersempit ruang demokrasi.
"Ini cara DPR untuk menyempitkan ruang-ruang demokrasi ya, kami anggapnya begitu," ujar Sekjen Partai Garuda Abdullah Mansyuri, saat dihubungi, Rabu (10/6/2020).
Abdullah mengatakan, bila RUU pemilu ini tetap dijalankan maka akan mengembalikan situasi pada saat orde baru. Ia menilai kenaikan ambang batas parlemen adalah langkah yang keblinger.
"Kita sudah masuk pada masa reformasi kurang lebih 22 tahun, kita harus membalikkan rezim Orde Baru kalau kita lihat juga RUU Pemilu ini tetap di jalankan," kata Abdullah.
PKPI
Sementara itu, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menyebut PT seharusnya diturunkan secara bertahap.
"Bila PT tetap nekat dinaikkan, maka sangat mungkin puluhan juta suara pemilih akan hangus di tahun 2024. Logika garis lurus, justru Parliamentary Threshold wajib diturunkan bertahap, bukan malahan dinaikkan" ujar Sekjen DPN PKP Indonesia Verry Surya Hendrawan, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/6/2020).
Verry mengatakan, hal ini juga dapat menyulitkan perkembangan demokrasi Indonesia. Menurutnya, jangan sampai kenaikan ambang batas menyebabkan tingkat kepercayaan dan partisipasi masyarakat menurun karena ambisi kekuasaan.
"Dan yang akan lebih sulit untuk perkembangan demokrasi kita adalah, apabila tingkat kepercayaan dan partisipasi masyarakat juga turun. Jangan sampai prestasi 81% di 2019 anjlok di 2024, hanya karena ambisi para oligarki kekuasaan. Kalau ini terjadi, maka akan suram demokrasi kita," kata Verry.
Hanura
Partai Hanura juga menolak wacana ini. Hanura menilai hal tersebut sebagai bentuk perampokan hak pribadi rakyat.
"Ambang batas parlemen menjadi 7% adalah bentuk perampokan secara brutal, dari hak milik pribadi rakyat!" ujar Wakil Ketua Dewan Penasihat Hanura Inas Nasrullah Zubir saat dihubungi, Rabu (10/6/2020).
Inas mengatakan RUU Pemilu yang tengah dibahas DPR bertentangan dengan UUD '45. Menurutnya, UUD '45 menyebutkan pemilu dilakukan secara langsung, bebas, hingga adil.
"RUU Pemilu yang sedang digodok di DPR sekarang ini, berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD '45," kata Inas.
Perindo
Sementara itu, Partai Perindo menyebut wacana kenaikan harus dihentikan. Bahkan, Perindo menginginkan ambang batas jadi nol.
"Menurut saya, wacana kenaikan itu harus dihentikan kalau bisa harus menjadi 0 dan kita kembali pada fraksi threshold," ujar sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq saat dihubungi pada Rabu (10/6/2020).
Rofiq meminta tidak membangun politik oligarki untuk mementingkan kelompok sendiri. Menurutnya, rencana kenaikan ambang batas tidak memiliki alasan yang kuat.
"Jangan membangun politik oligarki, politik yang menang-menangan, politik yang mementingkan kelompoknya atau partai-partainya. Jadi rencana PT yang naik sesungguhnya sudah sangat tidak normal, tidak ada alasan yang sangat kuat," kata Rofiq.
PDIP
Suara lain juga diutarakan oleh PDIP. PDIP bersikap bahwa mereka sejak awal mengusulkan 5% berdasarkan keputusan kongres.
"Kalau garis PDIP kan apa dasar kongres, bukan rakernas. Kongres partai menyebutkan kita untuk parliamentary threshold itu 5%, PDIP dari awal di angka 5%," kata Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP PDIP, Bambang Wuryanto kepada wartawan, Kamis (11/6/2020).
Bambang Wuryanto, yang akrab disapa Pacul, mengutarakan bahwa tak menutup kemungkinan dalam pembahasan nantinya bisa saja ambang batas sikap PDIP berubah di atas atau di bawah 5%. Hal tersebut tergantung dinamika pembahasan di Komisi II DPR.
"Bahwa nanti di dalam dinamika, di dalam berdialektika fraksi-fraksi lain, ya itu bisa saja di atas 5%, bisa juga di bawah 5%, tergantung di dalam perdebatan RUU revisi nanti, kan begitu bos," ujar Pacul.
PAN
PAN juga menolak wacana ini. PAN beralasan dengan PT 4% saat ini saja banyak suara mereka yang tak terwakili di DPR RI.
"Kita sudah menyampaikan dari awal bahwa PAN termasuk yang tidak setuju dengan ambang batas parlemen dinaikkan jadi 7%," kata Sekjen PAN, Eddy Soeparno kepada wartawan, Kamis (11/6/2020).
"Karena ketika ambang batas parlemen itu 4% saja, ada 13,5 juta suara di pemilu 2019 yang tidak terwakili, hangus, apalagi naikkan jadi 7%, berapa jumlah suara yang tidak terwakili nantinya, dan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, di mana setiap suara itu patut diperhitungkan, patut diperjuangkan," imbuhnya.
PAN, kata Eddy, ingin ambang batas parlemen tetap di angka 4%. Namun, Eddy mengatakan PAN tak menutup kemungkinan adanya perubahan sikap soal ambang batas.
"Kita pada prinsipnya tetap meminta pemberlakuan PT sekarang, 4%, tetapi tentu hal tersebut terbuka untuk kita bicarakan ketika nanti melakukan dialog dengan partai-partai," ujar Eddy.
PPP
PPP tak setuju dengan usulan ambang batas DPR atau parliamentary threshold (PT) naik dari 4% menjadi 7% dalam revisi UU Pemilu. Berbicara soal oligarki sebelum era reformasi, PPP ingin DPR lebih ramai parpol.
"PPP berpendapat bahwa PT 4% yang saat ini berlaku tidak usah dinaikkan. Ini mengingat beberapa hal," kata Sekjen PPP Arsul Sani kepada wartawan, Kamis (11/6/2020).
Ambang batas 4% saat ini saja, menurut Arsul, membuat banyak suara yang terbuang. Bila dinaikkan menjadi 7%, semakin banyak suara pemilih yang akan hangus tak berguna.
"Pertama, dengan PT 4% saja, maka suara rakyat yang tidak terwakili di DPR atau terbuang karena partai yang dipilihnya tidak penuhi ambang batas sudah lebih dari 13,5 juta. Artinya, kalau PT dinaikkan, maka terdapat kemungkinan akan semakin besar suara rakyat yang tidak terwakili," ujar Arsul.
"Bahkan bisa jadi kalau dengan 7%, maka suara yang tidak terwakili itu lebih besar dari suara partai pemenang pileg," sambungnya.
Berkarya
Menanggapai kenaikan ambang batas ini, Berkarya merasa diberangus bila ambang batas parlemen kembali dinaikkan.
"Idealnya ambang batas 0% alias tidak perlu ambang batas. Itu bisa diberlakukan untuk pilpres dan pileg," ungkap Sekjen Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso, kepada wartawan, Kamis (11/6/2020).
Dia berharap para pembuat kebijakan bisa mempertimbangkan pentingnya setiap suara dari rakyat. Bila ada ambang batas, suara rakyat yang diberikan akan hangus bila partai tersebut tak bisa memenuhi syarat ambang batas itu.
"Demokrasi akan tumbuh hebat. Suara dari rakyat dalam pemilu (pilpres maupun pileg) semuanya dihargai, tidak ada yang hangus," sebut Priyo.
Demokrat
Partai Demokrat pun turut bersuara. PD mempertanyakan urgensi pembahasan revisi UU Pemilu saat ini.
"Pemilu kan baru saja selesai. Ngapain juga kita buru-buru bahas RUU Pemilu lagi. Lebih baik jangan tergesa-gesa diputuskan. Apalagi ada beberapa poin krusial yang mau diubah. Karena pemilu kan bukan soal kepentingan partai politik saja. Malah yang utama soal suara rakyatnya. Jadi banyak pihak yang harus didengar," kata Wasekjen PD Jansen Sitindaon, Kamis (11/6/2020).
Jansen menyebut ambang batas masuk DPR saat ini sudah sesuai. Dia takut, jika ambang batas DPR dinaikkan, bakal banyak suara rakyat yang hangus.
"Terkait soal parliamentary threshold (PT), menurut kami, 4 persen yang sekarang ini sudah pas dan tepat ya. Tidak ketinggian, juga tidak kerendahan. Ini angka moderat yang bisa mengakomodasi semua suara di Indonesia ini," kata Jansen.
Gerindra
Partai Gerindra tidak mempermasalahkan jika ambang batas parlemen naik hingga 7 persen. Meski demikian, Gerindra menilai angka 4 persen saat ini sudah ideal.
"Kalau Gerindra sih siap aja, mau 10 persen sekalipun kita nggak worry. Sudah dua pemilu kami di atas 12 persen dan party building kami tak pernah berhenti," ujar Juru Bicara Gerindra Habiburokhman kepada wartawan, Kamis (11/6/2020).
Habiburokhman mengatakan naiknya ambang batas itu jangan sampai 'membunuh' partai. Menurutnya, akan ada banyak suara yang hangus jika aturan itu diberlakukan.
"Tapi Demokrasi bukan untuk gagah-gagahan. Yang besar jangan bunuh yang kecil. Demi demokrasi kami rasa PT (parliamentary threshold) nggak perlu dinaikkan lagi. Karena akan banyak aspirasi rakyat yang hangus," kata dia.
Ketua DPP Gerindra itu mengatakan partainya belum memiliki sikap resmi. Namun, menurutnya, angka 4 persen sudah ideal.
Nasdem
Partai NasDem mengusulkan kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen dari yang sebelumnya 4 persen. Kenaikan ambang batas parlemen dinilai baik untuk konsolidasi demokrasi.
"NasDem termasuk yang mengusulkan 7 persen karena logical framework-nya kita sudah mengalami masa transisi demokrasi yang cukup panjang. Maka kemudian kita harus masuk ke fase konsolidasi demokrasi, advance democracy," kata Ketua DPP NasDem Willy Aditya kepada wartawan, Jumat (12/6/2020).
Dengan ambang batas parlemen yang ada saat ini, Willy menilai pasar politik di Indonesia sangat cair. Hal itulah, menurutnya, yang membuat begitu mudahnya membangun partai baru atau berpindah partai.
"Jadi kita tidak memiliki kesempatan untuk melakukan, membangun basis kepartaian. Karena pasar politiknya begitu cair sehingga orang dengan sewaktu-waktu dengan gampang membangun partai baru, pindah partai, itu logical framework-nya," ujar Willy.
Golkar
Partai Golkar setuju dengan kenaikan ambang batas parlemen dari 4 persen menjadi 7 persen. Kenaikan ambang batas parlemen dinilai bisa menyederhanakan partai politik di sistem presidensial.
"Partai Golkar mengusulkan ambang batas parlemen menjadi 7%. Kebijakan PT 7% ini sebagai upaya kita untuk lebih menyederhanakan partai politik sehingga sistem presidensial kita dapat lebih efektif," kata Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily kepada wartawan, Jumat (12/6/2020).
"Ambang batas parlemen 7% ini berlaku secara nasional, selain untuk pusat, juga berlaku untuk daerah," imbuhnya.
Menurut Ace, penyederhanaan partai politik bisa membuat pengambilan keputusan di DPR lebih efektif. Selain itu, Ace mengatakan hal itu bisa berdampak efektifnya sistem presidensial.
"Dengan adanya penyederhanaan partai politik di DPR, diharapkan proses pengambilan kebijakan di parlemen juga menjadi lebih efektif. Kami berpandangan, sistem presidensial akan lebih efektif jika juga ditopang dengan sistem multipartai sederhana," ujar Ace.
PKS
Fraksi PKS mengusulkan sejumlah masukan terkait revisi UU Pemilu, salah satunya soal ambang batas parpol lolos DPR atau parliamentary threshold.
"PKS berkomitmen pada upaya penyederhanaan partai politik dan sistem kepartaian. Akan tetapi, hal itu harus dilakukan secara bertahap atau gradual dan tidak drastis atau terlampau tinggi. Dengan demikian, secara alami bisa menumbuhkan kesadaran politik masyarakat pemilih dan partai politik sendiri," kata Ketua F-PKS Jazuli Juwaini dalam keterangan tertulis, Kamis (11/6/2020).
"Baik masyarakat dan parpol tidak ada yang merasa dipasung dan dimatikan paksa hak-hak politik dan aspirasinya. Itulah pentingnya penyederhanaan secara gradual. Oleh karena itu, Fraksi PKS mengusulkan PT 5%, naik 1% dari pemilu yang lalu," sebut Jazuli.