Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Saleh Pertaonan Daulay meminta agar pemerintah mengikuti standar WHO dalam memberikan data perkembangan virus Corona (COVID-19). Salah satunya data laporan kematian akibat virus Corona.
"Saya mendorong agar pemerintah menangani virus corona dengan standar WHO. Penggunaan standar yang sama dengan WHO diyakini akan lebih membantu. Sebab, pengalaman-pengalaman negara lain bisa dijadikan sebagai pelajaran dalam menangani berbagai kasus yang ada," kata Saleh kepada wartawan, Selasa (19/5/2020).
"Dalam hal ini, termasuk persoalan pendataan. Sejauh ini, pemerintah hanya melaporkan kematian positif Corona saja. Sementara yang PDP tidak termasuk dalam laporan. Tentu ini menyisakan sejumlah persoalan," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saleh menyebut jika yang dilaporkan adalah hanya pasien yang positif, maka tidak menggambarkan korban sesungguhnya. Dia menyebut adalah hal yang wajar jika banyak pihak yang menilai jumlah korban sebenarnya lebih banyak yang dari pada yang diumumkan.
"Pertama, jika hanya kematian pasien positif saja yang dilaporkan, kita tidak akan mendapatkan data sesungguhnya korban virus ini di Indonesia. Wajar jika banyak yang menilai jumlah korban yang sesungguhnya jauh lebih banyak dari yang diumumkan," ungkapnya.
Saleh menyebut laporan kematian itu juga berimbas kepada pemakaman. Dia menyebut jika data kematian tidak rinci, bukan hal yang tidak mungkin keluarga yang ditinggalkan akan merasakan dampaknya.
"Kedua, cara mengurus jenazahnya juga akan menjadi kendala. Tidak jelas apakah pakai protokol COVID-19 atau tidak. Ketidakjelasan ini akan berimbas pada keluarga yang ditinggalkan. Mereka tidak akan tahu apakah harus ikuti aturan prosedur pemakaman COVID-19 sesuai anjuran pemerintah atau bisa pemakaman reguler seperti biasa," paparnya.
Lebih lanjut, Saleh menyebut soal kepastian kematian itu adalah tugas tenaga kesehatan. Dia menyebut tentu ada persoalan dalam menentukan akibat kematian pasien terebut.
"Untuk mengetahui apakah seseorang meninggal karena COVID-19 atau tidak, tentu itu adalah tugas dokter dan para ahli yang bertugas. Tentu ada persoalan soal kepastiannya. Tetapi di luar negeri mereka mampu untuk menetapkan dan menentukan. Bisa saja metode yang mereka pakai diterapkan di Indonesia," kata dia.
Untuk diketahui, WHO memperluas definisi kematian COVID-19 sejak 11 April lalu, yakni lewat laporan perkembangan COVID-19 Nomor 82 (Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) situation report-82). Sejak saat itu, WHO memperluas definisi 'kematian COVID-19'.
"WHO telah mengembangkan definisi berikut untuk melaporkan kematian COVID: kematian COVID-19 yang didefinisikan untuk kepentingan pengawasan adalah kematian akibat penyakit yang kompatibel (cocok) secara klinis dalam suatu kasus yang mungkin COVID-19 atau kasus yang terkonfirmasi sebagai COVID-19," demikian tulis WHO, dikutip detikcom dari situs resminya.
Dalam definisi baru mengenai 'kematian COVID-19' ini, ada istilah kematian dari 'probable case (kasus yang mungkin COVID-19)'. Bila ada seseorang yang menyandang 'probable case' itu meninggal, maka kini kematian orang itu dihitung sebagai 'kematian COVID-19'. Sedangkan Indonesia menghitung kematian COVID-19 terbatas pada kematian dari orang yang telah terkonfirmasi positif COVID-19 lewat tes PCR saja.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto menilai definisi kematian COVID-19 yang disebut WHO itu bukanlah hasil keputusan organisasi itu, melainkan hanya sebatas pendapat dari laporan harian (situation report/sitrep). Maka Indonesia tidak merasa perlu untuk mengikuti definisi itu.
"Itu adalah pendapat hari itu saja, besoknya sudah tidak ada pendapat itu. Formatnya (pelaporan angka kematian) juga tidak berubah," kata Yuri saat dimintai keterangan oleh detikcom, Senin (18/5).