La Nyalla Mahmud Mattalitti putra Mahmud Mattalitti, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Kakeknya, Haji Mattalitti adalah seorang saudagar terkenal asal Bugis-Makassar yang berpengaruh besar di Surabaya. Karena bengal semasa bersekolah, keluarganya memutuskan untuk memasukkannya ke pondok pesantren di wilayah Bekasi. Setelah dewasa, dia kembali menjadi santri di Pesantren Sunan Giri, Gresik sembari kerja serabutan sebagai sopir angkot.
Di Gresik, dia berkenalan dengan banyak preman yang kemudian diajaknya bertobat dan mondok di pesantren. Berkat keuletannya, La Nyalla menjelma menjadi salah seorang pengusaha sukses di Jatim. Dia sempat memegang posisi penting di sejumlah perusahaan mulai dari direktur sampai komisaris. La Nyalla lalu dipercaya memimpin Kadin Jatim. Di luar aktivitasnya sebagai pengusaha, dia juga aktif di ormas Pemuda Pancasila.
La Nyalla mulai terjun di dunia olahraga sebagai Wakil Ketua Komisi Olahraga nasional Indonesia (KONI) Jatim pada 2010. Setahun kemudian ia menjabat sebagai wakil ketua PSSI Jatim. La Nyalla membentuk PSSI tandingan bernama Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia pada 2012. Setelah Djohar Arifin lengser pada 2015, La Nyalla terpilih sebagai ketua umum yang baru melalui kongres luar biasa PSSI yang digelar di Surabaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah sempat buron selama 63 hari, dia kembali ke Indonesia setelah dideportasi oleh Pemerintah Singapura. Namun akhirnya, majelis hakim memvonis bebas dalam keputusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 27 Desember 2016. La Nyalla kembali menjadi pusat perhatian publik ketika berencana maju sebagai calon gubernur di Pemilihan Gubernur Jatim pada 2018 yang didukung oleh Partai Gerindra. Namun, akhirnya Partai Gerindra batal mengusungnya. Hal itu memicu konflik dirinya dengan Prabowo Subianto. Dia menyatakan diminta mahar Rp 40 miliar.
Catatan-catatan kontroversi itu tak bisa membendung La Nyalla menguasai kursi DPD 1. Menurut senator asal Provinsi Bangka Belitung Zuhri M. Syazali, rekam jejak tersebut tak jadi pertimbangan dalam pemilihan ketua DPD. "Kalau cari salahnya semua kan pernah buat salah. Semua ada prosesnya karena kita kan negara hukum dan (kasus La Nyalla) itu sudah selesai. Tidak ada gunanya untuk diperbincangkan kembali," katanya. "Yang penting adalah bagaimana DPD lima tahun ke depan lebih baik dari periode sebelumnya."
(pal/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini