Pernyataan itu disampaikan salah satu calon pimpinan KPK, Alexander Marwata. Satu-satunya calon petahana ini menyebut OTT tidak membutuhkan teknik yang rumit.
"Kalau boleh saya katakan, hanya orang yang goblok aja yang kena OTT itu," kata Alexander dalam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh yang diambil Alexander adalah soal OTT terhadap kepala daerah. Menurut Alexander, isi kantong mayoritas para kepala daerah di Indonesia sudah tekor ketika awal menjabat.
"Survei Mendagri mengatakan 80 persen kepala daerah mengeluarkan biaya Rp 20-30 miliar. Saya pastikan penghasilan yang bersangkutan 5 tahun ke depan bisa menutupi itu. Pasti akan terjebak itu. Pasti," ujar Alexander.
![]() |
Suatu ketika, Alexander mengaku pernah berbincang dengan tim penindakan KPK secara tidak formal mengenai OTT. Dalam perbincangan itu, Alexander memberikan ilustrasi ke tim penindakan soal adanya laporan tentang seorang pengusaha yang akan memberikan suap kepada penyelenggara negara dan langkah apa yang sebaiknya diambil.
"Mana yang lebih baik? Kita cegah pengusaha itu memberikan uang, kita awasi pelaksanaan lelangnya, kita pastikan bahwa lelang itu berjalan dengan baik dan benar, pengusaha yang katanya akan memberikan uang itu kita larang untuk ikut lelang. Atau kita tunggu pengusaha itu sampai memberikan uang ke penyelenggara negara. Ya mereka (mengatakan) 'Kalau seperti itu tidak ada OTT, Pak Alex'," kata Alexander sembari menirukan jawaban dari tim penindakan yang berbincang dengannya.
"Ya kalau penindakan tujuannya OTT, ya, seperti itu tadi," imbuhnya.
Masalah OTT juga dibahas calon pimpinan KPK lainnya, Nawawi Pomolango, saat uji capim KPK kemarin, Rabu (11/9). Ia menyebut KPK seharusnya mengutamakan pencegahan dibanding penindakan. Dia lalu menyinggung salah satu kasus yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
![]() |
Nawawi pernah menjadi hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dan saat ini duduk sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar. Dia lalu menyinggung sebuah kasus yang ditanganinya.
"Saya agak terusik dengan kasus yang saya tangani. Ini sebenarnya tertangkap tangan atau jebakan?" ucap Nawawi.
Anggota Komisi III DPR bertanya kasus apa yang dimaksud Nawawi. Tapi dia menolak mengungkapnya karena kasus itu sedang dalam tahap peninjauan kembali (PK). Menurut Nawawi, seringnya OTT tidak berimbas pada indeks persepsi korupsi Indonesia. Dia menilai pencegahan akan lebih berdampak.
"Faktanya, sehari seperti minum obat OTT, itu sama sekali tidak memberi tanjakan indeks persepsi korupsi. Indeks persepsi korupsi akan lebih menanjak jika kita benahi soal sistem pencegahannya," papar Nawawi.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sempat berkomentar soal operasi tangkap tangan (OTT) yang juga disorot dalam fit and proper test. Dia menegaskan OTT yang dilakukan KPK hanya memberikan kontribusi 10 persen. Komentar ini dia sampaikan pada Rabu (11/9) kemarin.
"Dan OTT, sekali lagi OTT, KPK itu cuma bisanya OTT. Tolong dong media juga tulis, dari semua kasus KPK kontribusi OTT itu paling 10 persen, 90 persennya kita kembangkan kasusnya. Termasuk hari Ini, bukan OTT, kita sudah menetapkan misalnya adalah nanti akan diumumkan Febri," kata Syarif.
"Karena apa, OTT itu punya magis seperti nangkap seseorang, padahal tindak pidana pencucian uang misalnya kemarin itu, bukan OTT saya mengumumkan tentang Petral, itu pekerjaan luar biasa sulit tetapi tidak sedahsyat OTT kan pembicaraannya. Padahal itu mungkin akan menyelamatkan banyak uang negara ke depannya," imbuh Syarif. (imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini