Tentang SBKRI Ayah Ahok yang Disinggung Yusril

Tentang SBKRI Ayah Ahok yang Disinggung Yusril

Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Rabu, 04 Apr 2018 11:36 WIB
Yusril Ihza Mahendra (Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta - Ketum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra telah menjelaskan inti pidatonya yang menyinggung kewarganegaraan ayah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam pemaparannya, Yusril juga menyinggung soal SKBRI ayah Ahok, Indra Tjahaja Purnama.

"Ahok pernah diwawancara, kan ditanya dia, 'Nama bapak sebenarnya siapa sih, Basuki Indra Purnama atau Basuki Tjahaja Purnama atau apa?' (Kata Ahok) 'Waktu saya SD itu nama saya Basuki saja. Saya baru pakai nama Basuki Tjahaja Purnama ketika saya, kata si Ahok, ketika saya keluar dari SKBRI bapak saya.' Omongan Ahok itu kan kalau orang seperti saya ngerti apa yang dimaksud," papar Yusril dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (4/4/2018).



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

SKBRI yang disebut Yusril, atau tepatnya SBKRI, merupakan singkatan dari Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut Yusril, SBKRI dimiliki oleh orang yang sebelumnya merupakan warga negara China.

"Kenapa Tjoeng Kim Nam (nama lain ayah Ahok) punya itu SKBRI? Karena dia WN Tiongkok pindah WNI, nah itu ada nama istrinya, ada nama anak-anaknya, pasti nama si Ahok ada di situ. Nah, Ahok bilang, 'Saya baru pakai nama Tjahaja Purnama setelah keluar dari SKBRI ayah saya'," imbuh Yusril.

Wawancara Ahok yang dimaksud Yusril terjadi pada akhir 2015. Saat itu Ahok bercerita tentang adanya perbedaan nama pada sertifikat tambang miliknya. Di situ tertulis atas nama 'Basuki Indra'.

"Saya nggak pernah ganti nama, lo. Ternyata nama saya yang asli itu, Basuki Tjahaja Purnama, saat kapan tahu nggak? Kami ini orang turunan harus buat SKBRI dulu, sebelum keluar Undang-Undang tentang Kewarganegaraan. Jadi kami harus pisah (nama) dari orang tua," ujar Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (11/12/2015).

[Gambas:Video 20detik]


SBKRI mulai diberlakukan sejak terbitnya Undang-Undang Kewarganegaraan No 62 Tahun 1958 yang ditandatangani oleh Presiden RI pertama Sukarno. Pada undang-undang ini ditegaskan bahwa seorang WNI tak boleh memiliki kewarganegaraan ganda.

"Barangsiapa bukan warga-negara Republik Indonesia adalah orang asing," begitu tulis Pasal 20 undang-undang tersebut.

Selain itu tertuang pula dalam Peraturan Penutup yang berbunyi:

Seorang warga-negara Republik Indonesia yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dianggap tidak mempunyai kewarga-negaraan lain

Soal surat bukti yang dimaksud juga tertuang dalam Peraturan Penutup undang-undnag tersebut yang berbunyi:

Barangsiapa perlu membuktikan bahwa ia warga-negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai atau memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia warga-negara Republik Indonesia atau tidak menurut acara perdata biasa.

Menurut Yusril, pada 1962 kemudian orang peranakan Tionghoa dikumpulkan untuk didata. Mereka ditanyai untuk memilih kewarganegaraan Indonesia atau China. Ketika itu Yusril berusia sekitar 6 tahun.

Pendataan itu dilakukan lantaran pemimpin Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kala itu, Mao Zedong, menyatakan rakyatnya adalah semua orang keturunan China, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Setelah itu ada perjanjian antara Menlu RI Soenario Sastrowardoyo dan Menlu RRT Zhou En Lai, sehingga disepakati tak ada dwikewarganegaraan di Indonesia.

Merujuk pada UU No 62/1958, warga keturunan Tionghoa yang mengajukan kewarganegaraan Indonesia kemudian memiliki surat bukti dan kemudian disebut SBKRI. UU No 62/1958 lalu direvisi dengan UU No 3/1976 yang ditandatangani Presiden Soeharto. Namun yang direvisi hanya Pasal 18 undang-undang tersebut. Ketentuan tentang SBKRI kemudian dilegitimasi lagi dengan Keputusan Menteri Kehakiman No 3/4/12 Tahun 1978.

SBKRI keluaran tahun 1973.SBKRI keluaran 1973. (Foto: dok. Wikimedia Commons)


Revisi UU Kewarganegaraan kala itu belum mengubah ketentuan mengenai surat bukti. Akhirnya pada 1996, Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden No 56 Tahun 1996 yang mencabut aturan tentang penggunaan SBKRI. Bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:

Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dinyatakan tidak berlaku.

Soal SBKRI sendiri juga pernah jadi ganjalan para atlet bulutangkis berprestasi Indonesia yang kebanyakan adalah peranakan Tionghoa. Pada tahun 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menegaskan SBKRI tak lagi berlaku.

Kala itu Megawati bertemu dengan pengurus PBSI di Istana Negara. Ditegaskan pula bahwa KTP bisa jadi bukti kewarganegaraan.

Pada pertemuan itu juga ada jaminan bahwa peranakan Tionghoa juga merupakan pribumi. Sehingga tak ada lagi diskriminasi.

Namun Wahyu Effendi (Tjoa Jiu Tie) Prasetyadji pada 2008 dalam bukunya 'Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI' menuliskan tentang SBKRI yang masih diberlakukan. Dia bercerita tentang masih adanya petugas imigrasi yang meminta SBKRI dalam pembuatan paspor.

SBKRI keluaran tahun 1973.SBKRI keluaran 1973. (Foto: Wikimedia Commons)


UU Kewarganegaraan terbaru adalah No 12 Tahun 2006 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi kata Wahyu dalam bukunya, UU tersebut tak menyinggung soal SBKRI. (bag/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads