"Tanggapan saya, untuk saat ini penyidik begitu mudah menangkap seseorang, menahan tanpa diawali oleh pemeriksaan awal. Jadi due process of law tidak berjalan. Demikian juga cara penangkapan tidak prosedural," kata Djudju ketika dihubungi, Senin (11/9/2017).
Djuju mengatakan, saat penangkapan pada Jumat (8/9) lalu, petugas sampai memanjat dan memadamkan listrik. Menurutnya, penangkapan orang terkait pasal 28 ayat 2 sangat mengerikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"UU yang lama kan, penahanan berdasarkan hate speech harus lewat keputusan pengadilan. Tapi sekarang mudah saja. Beberapa klien kami diperlakukan seperti itu, seperti Hardian pratama, Jasriadi," ujarnya.
"Jadi pasal 28 ayat 2, menurut kami, sangat mengerikan, represif, juncto pasal 45," sambung Djudju.
Diberitakan sebelumnya, Dewi ditahan terkait kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian (hate speech). Djudju berharap pemeriksaan terhadap kliennya dilakukan sesuai dengan prosedur.
"Kami pastinya akan dampingi sesuai prosedur. Kami mohon agar pemeriksaannya sesuai prosedur. Jangan orang diancam dengan ancamannya 6 tahun, tapi mereka BAP, mereka periksa tanpa didampingi pengacara. Bagaimana prosedur KUHAP dilanggar hanya persoalan hate speech? Bukan teroris atau yang tertangkap tangan," ungkap dia.
Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan Asma Dewi ditangkap saat berada di rumah kakaknya, kompleks Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI), Ampera, Jakarta Selatan.
Dewi ditangkap oleh tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim pada Jumat (8/9) lalu atas kasus ujaran kebencian, isu SARA, dan penghinaan. Dia kini ditahan di Rutan Bareskrim. Polisi menduga Asma Dewi juga terkait dengan grup penebar kebencian bernuansa SARA, Saracen.
(jbr/fjp)