Hal tersebut lantaran kenaikan UMK di wilayah kawasan industri hanya mendapat kenaikan sedikit. Seperti di Tuban, naik Rp 6.990,11.
"Iya, ada ketidakpuasan (dengan keputusan UMK 2022)," kata Wakil Sekretaris DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Jawa Timur (FSPMI Jatim), Nuruddin Hidayat saat dihubungi detikcom, Rabu (1/12/2021).
Sementara Ketua DPW FSPMI Jawa Timur, Jazuli memberi contoh seperti Kabupaten Tuban yang memiliki perusahaan Semen terbesar di Indonesia, penetapan UMK sebesar Rp. 2.539.224,88 atau hanya naik sebesar Rp. 6.990,11 (naik 0,28% dari UMK 2021). Hal ini dirasa tidak adil bagi pekerja atau buruh yang ada di Kabupaten Tuban.
"Tentu kami sangat menyayangkan penetapan UMK di Jawa Timur tahun 2022 masih terdapat Kabupaten/Kota yang mengacu kepada PP No. 36/2021, meski Mahkamah Konstitusi menangguhkan pemberlakuan PP 36/2021 tersebut. Sejatinya penetapan UMK tahun 2022 yang masih menggunakan formulasi PP 36/2021 tidak memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan buruh. Kenaikan upah tersebut tidak dapat meningkatkan daya beli buruh, malah sebaliknya daya beli buruh tergerus inflasi," jelasnya.
Para serikat pekerja/serikat buruh Jatim menolak penetapan UMK Jatim 2022. Sebab masih menggunakan perhitungan formulasi PP 36/2021 tentang Pengupahan.
Selain itu, serikat pekerja meminta Gubernur Jawa Timur untuk memberlakukan atau menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMSK) Jatim 2022, sebagaimana yang telah dijanjikan pada Selasa malam (30/11). "Penetapan UMSK tersebut berpedoman pada rekomendasi bupati/wali kota dan hasil rapat dewan pengupahan propinsi dari unsur serikat pekerja/serikat buruh," ujarnya.
(fat/fat)