"Memprediksi berdasarkan pengalaman PPKM kemarin, satu kelemahan mendasar di PKKM, yakni tidak ada ketegasan dan kejelasan implementasi pembatasan di lapangan. Sebab, fakta di lapangan tidak ada pembatasan sama sekali. Kalau PPKM mikro nanti hanya mengubah kata makro jadi mikro tapi pelaksanaannya sama nggak jelas juga," tegasnya.
Poinnya, tambah dia, sebenarnya pada penjelasan dalam juklak petunjuk pelaksanaan di lapangan. Apa yang dibatasi, pasar kah? kalau dibatasi berapa jam, yang terpenting sanksinya apa kalau tidak patuh pada aturan. Tanpa itu semua, tidak efektif," jelasnya.
Baginya, istilah PPKM selama ini hanya program di atas kertas. Tetapi implementasi tidak jelas dan tegas. Yang diperlukan pada PPKM mikro di Jatim adalah kejelasan dan ketegasan. Artinya memiliki target yang akan dicapai.
Kemudian, tegas Atoillah, bentuk mobilitas dipertanyakan, akan seperti apa yang harus diperketat. Hal itu juga harus tertulis dengan tegas dan jelas. Maka bukan menjadi normatif daerah tersebut dilakukan PPKM mikro, sebab nantinya akan membingungkan pelaksana di lapangan.
"Jadi mobilitas di mana, pasar apa, atau tempat berkumpul mana di daerah tersebut yang harus diatasi. Itu saya kira harus tegas. Selama ini PPKM kan nggak tegas, sehingga para pelaksana di lapangan gamang mau melakukan penindakan, sementara petunjuk tidak jelas. Kata-kata mikro lebih ke wilayah mikro sudah bagus, tapi PPKM ini sendiri yang menurut saya masih sebaiknya minimal menggunakan istilah PSBB. Karena yang di UU seperti itu jangan dimodifikasi dengan lain-lain," pungkasnya.
(fat/fat)