Dalam kegiatan tersebut, sejumlah pihak mendesak agar Perdunu mengubah nama organisasi dan istilah Festival Santet. Sebab, hal tersebut memiliki stigma negatif khususnya bagi masyarakat di luar Banyuwangi.
Ketua MUI Banyuwangi KH Muhammad Yamin menyesalkan istilah dukun yang digunakan oleh Perdunu. Sebab, MUI sendiri sudah menerbitkan fatwa yang melarang praktik perdukunan. Hal tersebut tertuang dalam fatwa MUI nomer 2/MUNAS/VII/MUI/6/2005 tentang fatwa larangan perdukunan dan peramalan.
"Dari apa yang sudah dipaparkan Perdunu tadi, sebenarnya tujuannya baik. Namun penggunaan istilah dukun dan santet inilah yang kemudian menjadi polemik," kata kiai Yamin kepada detikcom, Senin (8/2/2021).
"Apalagi MUI sudah menerbitkan fatwa larangan perdukunan. Karena lebih banyak mudaratnya. Ini malah bisa kontra produktif," tambahnya.
Untuk itulah, pihaknya meminta agar Perdunu untuk mengganti nama organisasinya termasuk juga istilah Festival Santet yang menjadi agenda program kerjanya.
"Jangan sampai penggunaan istilah yang tidak tepat, justru mengembalikan citra negatif Banyuwangi sebagai Kota Santet yang dalam sepuluh tahun terakhir mulai hilang," tambahnya.
"Jadi istilah santet itu dalam KBBI artinya sama dengan sihir, yakni mencelakai orang," katanya.
DKB sebenarnya sudah mencoba untuk merubah stigma masyarakat terkait pemaknaan kata santet seperti yang dilakukan Perdunu saat ini. Santet dimaknai sebagai ilmu putih berupa pengasihan atau mahabah dalam istilah agama Islam.
Namun hasilnya tetap nihil. Kata santet sudah melekat dalam paradigma masyarakat sebagai praktik perdukunan untuk mencelakai orang. "Ini sudah melekat. Sulit untuk dirubah image santet ini," katanya.
Untuk itulah, DKB berharap agar Perdunu lebih arif lagi dalam penggunaan istilah Festival Santet. Ini juga untuk menjaga citra Banyuwangi yang selama 10 tahun terakhir dikenal akan keindahan pariwisatanya.
"Lebih bijak istilah Festival Santet ini diganti. Bisa Festival Religi atau nama lainnya yang lebih elok," harapnya.