Pemerhati situs purbakala asli Blitar, Ferry Riyandika mengatakan, catatan-catatan Belanda itu diperoleh dari dosennya ketika mengenyam Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Malang (UM). Selain itu, Ferry juga mencatat hasil absklat prasasti bersama Pusklitarkenas di Blitar yang dipaparkan Prof Arlo Griffiths.
"Prof Arlo ini seorang epigraf yang pernah memaparkan absklat prasasti bersama Pusklitarkenas di Blitar. Diantaranya disampaikan, laporan Knebell 1908 dalam Rapporten van de Commissie in Nederlandsch-Indie, disingkat ROC, bahwa arca yang berada di areal Pendopo Ronggohadinegoro itu semua koleksi Tuan W. De Rooy, Kota Blitar," tutur Ferry kepada detikcom, Senin (25/1/2021).
Di antara ratusan arca koleksi itu, lanjut dia, terdapat arca langka pria berlengan dua yang sangat lapuk dan sangat rusak, perut gemuk, janggut runcing panjang, lengan lurus ke bawah. Dan di sebelah tangan kanan memegang sebuah aksamala, tangan sebelah kiri memegang sebuah kendi. Serta diapit dua orang yang menjongkok seperti menyembah.
"Ada lagi laporan Belanda tahun 1915, Rapporten van Oudheindukundigen Diest in Nederlendsh-Indie. Dituliskan, jika De Rooy kebanyakan mendapatkan koleksinya dari lereng selatan gunung Kelud, Blitar," imbuhnya.
W. H. De Roy sendiri, menurut Regeerings almanak voor Nederlandsch Indie tahun 1898 adalah seorang direktur cultuur maastchappij "Bintang" di Blitar. Sebuah perusahaan perkebunan "Bintang" di persil Bintang. Yang kini terletak di Desa Ngaringan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar.
Ferry mengaku, arca Resi Agastya di pendopo lama Kabupaten Blitar (Ronggo Hadinegoro) keberadaannya sudah ada sejak lama. Guru Sejarah di MAN 3 Magetan ini dulu melihat, semula arca Rsi Agastya menghadap ke selatan, di tengah ruang pendopo kecil sebelah barat pendopo utama.
Namun arca Resi Agastya yang "tidak mau" dipindah ke Museum Penataran ini sangat unik dan langka. Karena hanya sebagian kecil penggambaran arca Agastya di Indonesia memiliki dua "pariwara", arca pengiring. Arca pengiring ini merupakan arca dewa yang tingkatannya lebih rendah dari arca utama. Contohnya arca Hari-hari, yang merupakan perpaduan arca Siwa dan Wisnu.
"Di Candi Sumberjati atau Candi Simping juga memiliki arca pengiring yang sekarang berada di museum nasional, Jakarta," jelasnya.
Dalam khasanah literatur Hindhu, tambah Ferry, Agastya ditempatkan di sebelah selatan dan mengahadap selatan sebagai penjaga meru. Hal ini sesuai dengan isi kitab Tantu Panggelaran. Saat itu Kala dan Anukala menjaga gerbang barat dari Mahameru. Gana diposikan penjaga arah Timur, Ibu Gauri atau Durga Mahisasuramardini di sebelah utara. Sedang Agastya sebagai murid spesial Siwa diletakkan untuk menjaga daerah selatan.
![]() |
Oleh karena itu Agastya merupakan salah satu yang dianggap sebagai keluarga dewa Siwa (utama). Dalam kitab Tantu Panggelaran sendiri, Agastya mendapat kedudukan di Gunung Kawi.
Untuk keberadaan arca ini diberitakan sudah ada sejak lama berada bersama tinggalan arkeologi lainnya di museum Blitar dan luput di pindah ke tempat yang baru, Museum Penataran. Melihat konteksnya di pendopo juga ada dua arca dwarapala, yakni prasasti Petungombo (Panumbangan) masa Kertanagara yang disahkan sebagai tonggak hari jadi Kabupaten Blitar. Arca yang berada di depan pendopo RHN yang diapit oleh arca Singha, juga Prasasti Panumbangan atau Karangreja masa Bameswara, dan batu ukiran tanduk kijang.
Menurut Ferry, kalau melihat temuan prasasti Karangreja, Prasasti Petungombo, yang masih tertinggal di pendopo, bisa jadi arca Resi Agastya sangat unik dan langka. Karena arca Agastya dari Sumbernanas dan Jiwut sudah berada di Museum Penataran sekarang. Demikian pula arca Dewa Surya dari Karangreja juga sudah berada di Museum Penataran.
"Sehingga terlepas dari cerita mistis yang beredar, arca Rsi Agastya yang ini, memang masih berada di tempat yang kini digeser ke tepi, tidak menghadap ke alun-alun lagi," pungkasnya.