Wanita yang kini berusia 40 tahun itu bercerita bahwa rumahnya terangkat ombak yang tiba-tiba muncul Jumat dinihari. Saat itu, ibunya terjaga dan langsung mengangkat dirinya dan lari melalui genting.
"Kejadian tsunami itu pada hari Jumat Pon. Sampai saat ini warga akan tidak melakukan apapun pada jari Jumat Pon," ujar Siti Fatimah (40) salah satu saksi tsunami Pancer kepada detikcom.
Para nelayan di Pancer, kata dia, tidak akan melaut. Hal ini dikarenakan traumatik yang dirasakan warga atas tsunami yang menimpa 26 tahun lalu.
Kebanyakan para nelayan akan melakukan perjalanan mencari ikan selama satu hari penuh. Selanjutnya, hasil tangkapan ikan akan dibawa ke pelelangan, tak jauh dari lokasi.
"Memang benar. Pada saat itu ada yang pulang ke rumah tapi tidak menemukan rumahnya. Karena hancur ditelan ombak. Tangkapannya banyak pada saat itu," tandasnya.
![]() |
Apa yang diceritakan Siti Fatimah diamini Gatot (56), nelayan Pantai Mustika Pancer. Gatot mengaku saat itu dirinya selamat dari gulungan ombak tsunami karena berada di laut. Tidak ada kejadian aneh saat di tengah laut. Hanya ada gelombang agak besar yang bergulung sebanyak 3 kali.
"Tidak ada apa-apa di tengah. Hanya memang ada gelombang besar sebanyak 3 kali. Tapi tidak ada seperti tsunami itu," ujarnya.
Namun keesokan harinya, saat sudah sandar di pinggir pantai, dirinya tidak menemukan rumah yang biasa ditempatinya. Hanya hamparan pantai dan banyak pohon tumbang. "Hasil panen saya tinggal, saya hanya cari istri dan anak. Alhamdulillah selamat," tambahnya.
Gatot mengaku, setiap hari Jumat Pon penanggalan Jawa, dirinya tidak akan melaut. "Karena trauma. Saya harus meninggalkan istri dan anak yang ketakutan karena tsunami," pungkasnya.
Tsunami 1994 menyisakan trauma bagi warga Pancer yang selamat. Sebagian warga yang meninggal dunia diletakkan di sekitar masjid yang menjadi satu-satunya bangunan yang masih berdiri. Selanjutnya, jenazah korban tsunami dimakamkan di sekitar dusun. Mereka pun membuat monumen korban tsunami di sekitar pemakaman.
(fat/fat)