Sekarang, upacara peringatan Proklamasi sudah tak pernah dilakukan lagi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Untuk memastikan apakah dr Soetjipto yang dimakamkan di Blitar ini merupakan pria yang berdiri di belakang Soekarno saat pembacaan teks Proklamasi, detikcom dihubungkan dengan sejarawan Indonesia, Rusdhy Hoesein.
Dalam wawancara via telepon, Rusdhy mengaku menemukan foto asli pembacaan teks Proklamasi disimpan di Koninklijke Bibliotheek. Atau Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag.
"Pada Agustus 2005, saya berkesempatan ke sana. Lalu reproduksi pertama saya bawa ke Indonesia untuk saya teliti dalam bahan disertasi saya berjudul 'Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Indonesia-Belanda' untuk meraih gelar Doktor Sejarah," kata Rusdhy mengawali cerita.
Dalam proses penelitian itu, Rushdy banyak berdiskusi dengan sejarawan lain yang tergabung dalam Komunitas Historia Indonesia (KHI). Termasuk dengan ahli hukum yang sering menulis sejarah Indonesia, Adi Kusuma (90). Adi mengenal langsung dr Soetjipto dan sering berkomunikasi ketika masih hidup. Mereka ingin memastikan, apakah sosok pria berbaju PETA itu memang dr Soetjipto.
Dilihat dari struktur organisasi PETA yang dipajang di Museum Yapeta di Bogor, dr Soetjipto berpangkat Eisei Chudanco ( Perwira Kesehatan). Dalam sebuah peristiwa besar kenegaraan, posisi dan jabatan yang berdiri paling dekat dengan Soekarno tentu orang yang diberi kepercayaan dan berpangkat tinggi di PETA.
"Iya demikianlah. Kami sepakat itu sosok dr Soetjipto. Kami diskusikan habis-habisan itu. Ada yang berpendapat jika itu seorang perwira, Sudancho Saleh Tedjakusuma. Tetapi pangkatnya terlalu rendah untuk diizinkan berdiri di situ. Yang tampak di situ, pangkatnya lebih tinggi setingkat Chudanco ya dr Tjipto itu," tambah sejarawan Yapeta sejak 1995 itu.