Terlebih, manusia hidup harus piawai angon mangsa (menggelagat kondisi) bertindak tepat, sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Ada saatnya ketika asa demikian jauh dari pelupuk mata, saat itulah manusia harus menunduk, merenung dan berpikir secara keseluruhan, tak hanya dari satu sisi.
"Itulah yang disebut fase kontemplasi dan introspeksi. Introspeksi memerlukan sebuah keberanian, cermat pikir, tenang hati, dan kesiapan mengakui segala perbuatan, dimana dalam sesanti Jawa, disebut sebagai prinsip mulat sarira hangrasawani (pandai melakukan introspeksi)," katanya melalui keterangan tertulis, Selasa (21/4/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditya menjelaskan sejatinya setiap manusia pasti pernah mengalami krisis, bisa jadi karena disebabkan oleh dirinya sendiri ataupun disebabkan oleh faktor eksternal yang ada di lingkungannya. Perlu disadari bersama, kata Ditya, bahwa merasakan derita adalah pertanda kehidupan, bahwa derita pasti pernah dirasakan oleh manusia yang memiliki hati dan perasaan.
"Sekali lagi, ketika ada derita, pasti akan ada suka. Dimensi ini berlawanan, tetapi pasti dialami oleh setiap insan. Ketika akal pikiran tak mampu lagi menjangkau logika, berdoa memohon kepada Sang Khalik adalah ikhtiar terbaik," katanya.
"Manusia perlu mundur sapecak (seukuran telapak kaki), mengevaluasi apa yang sudah, sedang dan akan terjadi. Pun dengan kondisi saat ini, dimana banyak manusia merasa tertekan dan bahkan tak tahu harus berbuat apa akibat wabah Corona," lanjut Ditya
Apabila direnungkan, lanjutnya, ini adalah sebuah bencana global. Hampir seluruh dunia merasakan dampak wabah Corona. Ditya mengungkapkan saat inilah manusia harus bangkit bersama, saiyeg saekpraya (bekerja sama-bergotong royong), menyalakan kembali sebuah asa ketika optimisme menipis.
"Nyala atau nur yang harus dibangkitkan dan dipertahankan adalah sifat gotong royong yang sudah mendarah daging di seluruh hati warga. Penyemprotan disinfektan, pembatasan sosial mandiri, maraknya donasi dan distribusi bantuan swadaya menunjukkan bahwa nur itu masih ada dan semakin terang cahayanya," ujar Ditya.
Ditya menegaskan, itulah kekuatan sejati seorang manusia, di mana ego pribadi dilebur, dan diarahkan untuk saling membantu tanpa ada tendensi. Semua dilakukan dengan sadar, dengan melebur harapan bersama manusia lainnya, demi menuju kondisi yang lebih baik dalam situasi buruk sekalipun.
"Kita perlu memahami, bahwa bersatunya upaya lahiriah dan batiniah, madhep manteb menembah mring Gusti dan ngudi laku utama kanthi santosa ing budi akan membawa manusia selangkah lebih tenteram dalam situasi apapun. Kita tetap harus menjadi warga masyarakat yang migunani tumraping liyan dalam menghadapi realita kehidupan," katanya.
Selain itu, dia mengingatkan agar jangan merasa sendiri apalagi terhakimi dalam situasi ini, selalu selaraskan kehidupan dengan lingkungan dan alam. Ditya mengatakan, yakin marang samubarang tumindak kang dumadi (yakin akan kodrat Ilahi) dan yakinlah Tuhan tak pernah memberikan ujian yang tak mampu dilewati oleh umat-Nya.
"Mari kita melakukan introspeksi, lir handaya paseban jati, mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi, dan kemudian bangkit bersama, holopis kuntul baris (bekerja sama-bergotong royong), mbangun bebrayan tumuju raharjaning praja. Melalui berdoa dan berupaya, segala bencana dan pageblug (wabah) pasti dapat dilewati bersama, agar kita hidup kembali tenang dan bahagia seperti sediakala," ucap Ditya.
(skm/mbr)